Ragam Makna Ke(tidak)netralan Sains (dipublikasikan di academia.edu)

http://bit.ly/sainsnetral

Apakah sains itu netral? Apa makna ‘netral’ dalam kalimat “sains itu (tidak) netral”?

Tulisan ini akan mencoba menunjukkan bahwa perdebatan tentang status kenetralan sains dimaknai bisa dimaknai secara beragam. Penulis mengambil posisi bahwa sains pada akhirnya bersifat tidak netral. Namun untuk mencapai kesimpulan tersebut, ragam makna kenetralan sains harus terlebih dahulu dijabarkan. Setelahnya, penulis memberikan kontra-argumen terhadap argumen-argumen kenetralan sains tersebut. Penulis kemudian menutup artikel ini dengan membedakan antara kenetralan dan keobjektifan sains. Penulis berargumen bahwa meskipun sains tidak netral, ia tetap bisa menjadi aktivitas yang objektif.

Large Language Model, Sensory Grounding Problem, dan Ibnu Sina

Baru saja mendapatkan slide-nya David Chalmers (filsuf di bidang philosophy of mind dan consciousness) dalam conference bertemakan ‘Philosophy of Deep Learning’.

Menariknya, Chalmers mengutip Ibnu Sina dalam menjawab persoalan apakah Large Language Model (LLM) yang menjadi basis ChatGPT dan sejenisnya butuh ‘sensory grounding’ (re: “akses” ke dunia luar, seperti pancaindera pada manusia contohnya) untuk mencapai taraf understanding selayaknya manusia.

Saya belum mendapatkan rekaman conferencenya, tapi kalau sekadar lihat slide-nya, nampaknya Chalmers menafsirkan argumen Ibnu Sina bahwa aktivitas berpikir tidak mesti membutuhkan ‘sensory input’ sebagaimana kita menerima sensasi dari pancaindera untuk mencerna sesuatu. Konsekuensinya, seperti tulisan di slide, “there can be thinking without sensing”. Apalagi jika input LLM bersifat multimodal (teks, audio, visual, dsb.) dan tidak sekadar teks saja. Sepertinya Chalmers beranggapan sangat mungkin sistem LLM seperti itu mencapai taraf understanding selayaknya manusia.

Argumen yang menarik dari Chalmers, dan lebih menarik lagi karena ternyata dia aware dan bahkan mengutip Ibnu Sina.

Namun, saya sendiri masih skeptis dengan tafsiran Chalmers terhadap Ibnu Sina dan aplikasinya untuk masalah AI dan LLM ini. Setahu saya, aktivitas berpikir yang dimaksud Ibnu Sina dan para mutakallimun/filsuf lainnya (seperti Al-Ghazali dan Al-Farabi misalnya) adalah proses abstraksi dari yang sifatnya “sensible” (seperti suara, warna, rasa, dll.) dan particular menjadi konsep abstrak yang sifatnya “intelligible” dan universal. Itu sebabnya kita bisa memahami sebuah konsep kursi yang universal padahal hanya bermodalkan kursi-kursi partikular yang kita lihat.

Tapi rasanya abstraksi dari sensible menuju intelligible di sini beda jauh dengan abstraksi ala komputer yang hanya melibatkan proses komputasi matematis. Setahu saya, proses abstraksi terjadi di jiwa yang sifatnya non-fisik. Sementara itu, proses komputasi sifatnya masih fisik karena ia perlu medium (ex: sirkuit elektronik) untuk merealisasikan fungsinya. Yang dimaksud abstraksi dalam LLM dan AI menurut hemat saya masih merupakan konsep partikular dalam kerangka pemikiran Ibnu Sina. Dalam slide-nya tidak tercantum bagaimana peran jiwa dalam proses berpikir sebagaimana yang dicanangkan oleh Ibnu Sina, jadi saya mencurigai ini tafsiran yang parsial terhadap pemikiran Ibnu Sina. Tapi ini baru kesimpulan awal setelah membaca slide. Mungkin saja bisa berubah ketika saya kelak mendapatkan akses rekamannya.

Memang pada akhirnya berbicara tentang implikasi filosofis AI terhadap konsep-konsep seperti berpikir, kecerdasan, jiwa, dll. ini tidak mudah. Belum banyak sarjana Muslim kontemporer yang merumuskannya (atau sayanya aja mungkin yang kurang baca), dan untuk men-tackle isunya butuh pemahaman yang cukup baik di bidang teknis AI, philosophy of mind, konsep jiwa manusia, dsb. Sepengamatan singkat saya, kebanyakan “perspektif Islam” terhadap masalah AI ini masih sebatas di ranah etika penggunaan. Meskipun itu juga sudah bagus, tapi tentu isunya jauh lebih dari sekadar etika penggunaan saja.

Mudah-mudahan kedepannya kita juga bisa engage dan memberikan posisi khas kita terhadap isu ini. Rasanya tidak mungkin 14 abad tradisi keilmuan Islam tidak punya tawaran baru terhadap isu yang sebenarnya merupakan ekstensi dari mind-body problem yang sudah ada sejak zaman Descartes. Mari kita lihat kelanjutannya seperti apa.

Wallahu a’lam.

KyAI (kyai AI), Euforia Umat, dan yang Sering Dilewatkan dari Perbincangan ‘Islam dan Artificial Intelligence’ (dipublikasikan di Academia.edu)

Link: bit.ly/islamdanAI

Bismillah. Berikut terlampir tulisan saya: “KyAI (kyai AI), Euforia Umat, dan yang Sering Dilewatkan dari Perbincangan ‘Islam dan Artificial Intelligence'”. Ini sedikit tanggapan saya terhadap ChatGPT, AI secara umum, dan respon kita sebagai Muslim (Indonesia).

Tulisan ini merupakan adaptasi populer dari artikel ilmiah yg sedang saya submit ke sebuah jurnal pemikiran Islam. Premisnya sederhana: kita sering hype terhadap perkembangan AI dan memikirkan prospek dan tantangan etikanya, padahal permasalahan filosofisnya belum dibahas.

Sebelum baca, mungkin perlu saya katakan 3 hal:

1) Tokoh yang disebut dalam aritkel ini hanyalah studi kasus; kondisi dan gagasan umat lebih penting utk diperhatikan

2) Artikel ini saya akui jauh dari kata sempurna, namun harapannya sedikit membantu menjernihkan persoalan.

3) Saya sangat berharap kedepannya ada yang memang ahli di bidang Islam dan AI sehingga mampu menerangkan persoalannya secara lebih bijak. Biarlah tulisan ini jd tiang penyangga sementara.

Selamat membaca! Jika dirasa bermanfaat, silahkan bagikan ke khalayak yg membutuhkan.

Kontribusi Muslim Pascasarjana (dipublikasikan di Academia.edu)

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan bulan Desember 2019 dalam sebuah karya antologi berjudul “Coretan untuk Dunia: Kumpulan Essay Berbagai Tema” yang diterbitkan oleh Keluarga Mahasiswa Islam (KAMIL) Pascasarjana ITB. Atas izin editor, karya penulis yang menjadi salah satu tulisan di antologi ini dipublikasikan di halaman academia penulis hari Rabu, 7 Desember 2022.

Untuk melihat tulisan saya, silahkan kunjungi halaman academia ini.

Untuk melihat dan mengunduh bukunya secara lengkap, silahkan mengunjungi situs https://phoenixfin.github.io/assets/pdf/buku/coretan_untuk_dunia.pdf

Logika Persamaan, Logika Perbedaan

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs web SEED Institute pada tanggal 25 Juli 2022: https://www.seedinstitute.net/2022/07/logika-persamaan-logika-perbedaan.html

Pernahkah kita mengamati fenomena seperti ini: sebuah wacana X sedang ramai diperbincangkan di jagat media sosial. Berbagai workshop dan training tentang wacana X tersebut dilaksanakan. Konten-konten Instagram pun banjir dengan wacana X. Kalangan awam mulai membaca buku non-fiksi tentang wacana X – bahkan mereka yang biasanya jarang membaca buku. Singkat cerita, “demam” wacana X merajalela.

Belum genap sebulan menjadi trending topic, para akun dan influencer dakwah – atau setidaknya yang mencitrakan diri sebagai persona Islami – mulai terjun ke dalam perbincangan. Bermodalkan nukilan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits, mereka melakukan rebranding wacana X dengan nama ‘X Islami’, ‘titik temu Islam dan X’, dsb. Dengan piawai mereka menemukan ‘keselarasan’ antara wacana X dengan Islam untuk dijadikan konten media sosial. “Jadi, X ini sangat Islami dan ternyata sudah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. sejak dulu” dan ujaran sejenis mewarnai perbincangan versi ‘Islami’ dari wacana X. Kita bisa mengganti ‘X’ dengan berbagai wacana, dari mulai yang praktis sepertistoikisme dan mindfulness hingga yang ideologis seperti sosialisme dan feminisme. Tinggal tambahkan kata ‘Islami’ dan kutip ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai justifikasi, jadilah produk baru.

Kita tentu paham maksud baiknya. Wacana tersebut keberterimaannya positif dan kebetulan sedang populer. Jika kita menunjukkan relevansi Islam terhadapnya, ini dianggap sebagai metode dakwah yang efektif. Namun, sayangnya niat baik meskipun harus diapresiasi tidaklah cukup. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan mengapa penyematan sifat ‘Islami’ pada konsep asing bisa berbahaya jika dilakukan secara serampangan.

II

Ambil contoh kasus stoikisme. Dalam sebuah podcast yang mengangkat tema “berbeda tapi bersama”, salah seorang narasumbernya mengklaim bahwa stoikisme tidak bertentangan dengan agama apapun dan bahkan induk pikirannya selaras dengan apa yang ia pelajari di agama Islam. Ia menjelaskan bahwa stoikisme pada intinya adalah ilmu pengendalian diri dan fokus terhadap hal yang bisa ia kendalikan. Lalu ia mengaitkan bagaimana konsep-konsep dalam Islam seperti kecukupan, qanaah, dan tawakalselaras dengan stoikisme.

Dalam kesempatan lain, giliran mindfulness yang disejajarkan dengan Islam. Dalam video singkat berjudul “Mindfulness dalam Islam”, sang narator menjelaskan bagaimana mindfulness adalah mindset kita dalam menghadapi masalah agar pikiran kita lebih baik. Mindfulness adalah self-awareness: kesadaran utuh dan kehadiran penuh terhadap apa yang kita pikirkan. Lalu narator mensejajarkan bahwa dalam Islam kita diajarkan untuk mengenal diri sendiri dalam rangka mengingat Allah swt., bahkan menyetarakan meditasi dan shalat & dzikir dalam rangka latihan menjadi orang yang mindful.

Masih banyak lagi wacana-wacana yang disejajarkan dengan Islam, dari mulai Ikigai, minimalisme, sosialisme, feminisme, dan berbagai isme lainnya. Khusus yang terakhir, bahkan ada yang tidak ragu-ragu memberi Rasulullah saw. predikat “feminis pertama dalam Islam”!

III

‘Keselarasan’ ajaran Islam dengan berbagai wacana tersebut memberikan kesan bahwa Islam selalu relevan dengan semangat zaman. Dari manapun sumbernya, asal dia sejalan dengan Islam, maka ambillah! Dikutiplah hadits “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah” untuk menjustifikasi. Logika persamaan dihadirkan di sini.

Namun sebagaimana dua sisi koin, ‘logika persamaan’ mengisyaratkan adanya juga ‘logika perbedaan’. Kita tidak memungkiri adanya irisan – yang banyak diantaranya bersifat superfisial – antara Islam dengan wacana-wacana tersebut. Namun awam terhadap atau bahkan menutup-nutupi bab perbedaan akan menyebabkan kita tidak melihat perkara secara utuh.

Mari kembali ke contoh kasus stoikisme. Dari pemaparan sebelumnya, dicitrakan bahwa stoikisme hanya sekadar prinsip hidup “fokus ke hal yang bisa kita kendalikan”. Padahal, stoikisme tidak sesederhana itu. Ia merupakan tradisi filsafat tersendiri. Dalam bukunya How to Be a Stoic (2017), Massimo Pigliucci menjelaskan bahwa “The original stoicism…was a comprehensive philosophy that included not only ethics but also a metaphysics, a natural science, and specific approaches to logic and epistemology….” Stoikisme meyakini bahwa segala yang terjadi di dunia mengikuti prinsip kausalitas dan – meminjam bahasa Pigliucci – “there is no room for spooky transcendental stuff”. Bahkan, Pigliucci juga berargumen bahwa Epictetus (salah seorang tokoh filsafat stoikisme) menganut paham pantheisme: paham yang menganggap bahwa alam semesta adalah jelmaan Tuhan itu sendiri.

Mindfulness pun bukannya tanpa masalah. Tidak banyak yang menyadari bahwa mindfulness berasal dari filsafat Zen Buddha. Dalam artikel berjudul The Problem of Mindfulness, Sahanika Ratnayake menyatakan bahwa “mindfulness is in fact ‘metaphysically loaded’”. Ia lanjut menjelaskan:

In particular, mindfulness is grounded in the Buddhist doctrine of anattā, or the ‘no-self’. Anattā is a metaphysical denial of the self, defending the idea that there is nothing like a soul, spirit or any ongoing individual basis for identity. This view denies that each of us is an underlying subject of our own experience. By contrast, Western metaphysics typically holds that – in addition to the existence of any thoughts, emotions and physical sensations – there is some entity to whom all these experiences are happening, and that it makes sense to refer to this entity as ‘I’ or ‘me’. However, according to Buddhist philosophy, there is no ‘self’ or ‘me’ to which such phenomena belong.

Dengan kata lain, doktrin anattā meminggirkan (jika tidak menolak sepenuhnya) konsep jiwa sebagai individu yang diciptakan dengan potensi yang berbeda-beda sesuai kadarnya.

IV

Dua contoh di atas hanya sebagian kecil bagaimana bahkan sebuah wacana yang kelihatan selaras dengan Islam di permukaan ternyata memiliki perbedaan filosofis yang fundamental setelah diinvestigasi lebih lanjut. Stoikisme mengajarkan kecukupan diri yang disamakan dengan konsep qanaah dalam Islam. Tapi di saat bersamaan stoikisme menolak konsep Tuhan yang berbeda dengan makhluk (re: alam) dan menolak kemungkinan intervensi Tuhan terhadap alam semesta. Mindfulness mengajarkan self-awareness yang disamakan dengan muhasabah diri, tapi di sisi lain ia menolak konsep personalitas (yang membuat muhasabah justru menjadi tidak mungkin karena tidak ada konsep ‘individu’).

Dan masih banyak lagi masalah yang akan muncul ketika kita dengan gebyah-uyah mensejajarkan Islam dengan berbagai wacana dan isme asing. Di satu kesempatan Rasulullah saw. diklaim sebagai feminis, tetapi di lain kesempatan poligami juga diantagonisasi atas nama feminisme. Paginya berujar “Islam 100% sejalan dengan demokrasi”, sorenya usulan perda syariah ditolak dengan alasan agama tidak boleh masuk ke ruang publik yang demokratis. Tarik-ulur terus terjadi, karena logika persamaan tidak dibarengi dengan logika perbedaan.

V

Setidaknya, fenomena penerimaan – bahkan klaim kepemilikan – wacana asing tanpa dibarengi sikap kritis ini mengajari kita tiga hal. Pertama, ia mencerminkan inferiority complex yang dialami umat Islam yang silau terhadap apa-apa yang berasal dari luar. Kedua, ia mencerminkan hilangnya tradisi kesarjanaan yang ketat, hati-hati, dan kritis dalam mengapropriasi konsep-konsep asing ke dalam khazanah keilmuan Islam. Ketiga, ia juga mencerminkan terputusnya kita dengan 14 abad tradisi keilmuan Islam sehingga gamang dan kebingungan dalam menghadapi zaman.

Situasi ini digambarkan secara apik oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam buku Islam and Secularism (1978). Beliau menggambarkan tren umat Islam yang cenderung menerima segala sesuatu dari Barat tanpa kritis, sembari memberi contoh tentang ‘sosialisme Islami’:

Orang Islām yang mengikuti arus tersebut bermaksud baik namun keliru dalam usaha untuk meningkatkan pemikiran umat Islām ke taraf pencapaian-pencapaian modern dalam bidang ilmu dan teknologi serta ilmu kemanusiaan dan realitas sosio-ekonomi – mereka membicarakan hal-hal yang tidak bermakna seperti misalnya ‘Sosialisme-Islami’ dan ‘Sosialisme dalam Islām’. Mereka mengacaukan pengertian Islām dan sosialisme, maka mereka bertanggungjawab atas kekeliruan umat Islām dan membawa mereka menyimpang dari jalan yang benar serta menimbulkan konflik yang tidak perlu di kalangan umat Islām. Sosialisme adalah ideologi sekular yang terpisah dari Islām, dan tidak akan pernah ada realitas seperti ‘Sosialisme Islami’ atau ‘Sosialisme dalam Islām’. Jika mereka ingin dan bermaksud membawa ide bahwa ada bagian-bagian penting tertentu dalam dimensi-dimensi sosialisme yang sejajar atau serupa dengan beberapa dimensi dari Islām, maka seharusnya mereka menyatakan ide itu dengan cara lain yang tidak mudah ditafsirkan secara kabur, misalnya ‘dimensi sosial, politik dan ekonomi dari Islām’ – atau beberapa pernyataan lain semacam itu, yang dengan sedikit usaha intelektual dapat dengan mudah difahami dan diterima sebagai tafsiran yang sah dari pandangan alam (worldview) Islām. Namun kegagalan mereka untuk memahami hal ini dan keinginan keras mereka untuk menulis sebagaimana yang telah mereka lakukan, menyingkapkan dengan jelas akan lemahnya mereka dalam kefahaman dan ilmu yang mendalam baik mengenai kebudayaan dan peradaban Islām maupun Barat. (Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. 2010, hlm.55)

Situasi ini seakan semakin menguatkan tesis beliau tentang loss of adab yang melanda dunia Islam saat ini. Ketika kita kehilangan adab, kita tidak mampu menempatkan sebuah produk pemikiran pada tempatnya. Dalam kasus ini, kita silau dengan logika persamaan sehingga lupa dengan logika perbedaan. Akhirnya, yang terjadi adalah logika ikut-ikutan!

Dalam hal ini, ada baiknya kita belajar dari ketelitian Imam Al-Ghazali dalam menerima ide-ide dari filsafat Yunani. Pertama, beliau tentu memiliki dasar ilmu keislaman yang sangat kokoh sehingga memiliki kacamata yang sangat jeli. Kedua, sebelum beliau mengkritik beberapa perkara filsafat Yunani yang menurutnya dapat menyebabkan bid’ah dan kekufuran, beliau terlebih dahulu mengarang kitab Maqāṣid al-falāsifa yang berisi penjelasan terhadap konsep inti filsafat Yunani. Barulah setelah menjelaskan konsep intinya, beliau melakukan kritik terhadap 20 perkara filsafat Yunani yang dianggapnya bermasalah – 17 dianggap bid’ah dan 3 dianggap kufur – dalam kitab Tahāfut al-falāsifa. Jelas terlihat kejelian beliau di sini.

Terakhir, ada baiknya kita tidak minder dengan pencapaian kita sendiri dan mencari ‘validasi’ dari luar. Tentu bukan berarti tidak boleh belajar segala yang berasal dari luar Islam. Belajar dan membandingkan silahkan, namun ada baiknya diiringi dengan disiplin pemikiran yang tinggi agar hasilnya tidak serampangan. Hargai tradisi, teliti sebelum “membeli”.

Wallāhu a‘lam.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443H

Bagi rekan-rekan semua, saya dan keluarga mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1443H. Mohon maaf lahir dan batin.

Mudah-mudahan amal ibadah kita selama bulan Ramadhan kemarin diterima oleh Allah swt., dan semoga kita disampaikan ke bulan Ramadhan berikutnya.

Alhamdulillah, sekarang kita berangsur-angsur sudah mulai bisa menjalankan Ramadhan dan Idul Fitri secara normal. Itikaf masjid kembali ramai, Idul Fitri kembali semarak, silaturahim dengan sanak saudara pun kembali berjalan.

Di kesempatan ini, saya sekaligus ingin membagikan tulisan lawas, tepatnya 2 tahun lalu saat saya diminta menjadi khatib pada kegiatan shalat Ied 1441H (2020). Saat itu, kegiatan shalat Ied dilakukan secara terbatas (hanya 6 orang) karena situasi pandemi COVID-19.

Mudah-mudahan ini menjadi pengingat bahwa betapa banyak nikmat yang kita lupa syukuri karena dianggap “taken for granted”. Tulisan ini adalah sedikit usaha saya menggali makna di bulan Ramadhan ketika segalanya serba terbatas. Ketika saya membacanya sekarang, sangat menarik bagaimana saya sendiri hampir lupa bahwa dua tahun lalu nikmat berkumpul dan bercengkerama seperti sekarang sedang ‘dicabut’ sementara waktu. Mudah-mudahan kita tidak menjadi orang-orang yang cepat lupa akan pelajaran berharga dari masa lampau.

Semoga bermanfaat.

-Juris dan keluarga-

Link tulisan: https://www.academia.edu/78145444/Refleksi_Bulan_Suci_Menggali_Makna_Menggapai_Taqw%C4%81

Dimitri Gutas, Muzaffar Iqbal, Orientalisme, dan Problem Historiografi Tradisi Sains Islam (dipublikasikan di Academia.edu)

Artikel (semi)akademik terbaru, membahas tentang perdebatan antara Dr. Muzaffar Iqbal dan Prof. Dimitri Gutas terkait metode yang harus diterapkan dalam historiografi tradisi sains Islam.

Saya pertama kali menjumpai perdebatan mereka di jurnal Islam & Science pada tahun 2018. Perdebatan mereka juga yang menjadi salah satu alasan saya kemudian tertarik membaca tulisan-tulisan Dr. Muzaffar Iqbal tentang Islam & sains. Sejak saat itu, sebenarnya sudah cukup lama ingin menulis artikel yang ada kaitannya dengan Dr. Muzaffar Iqbal. Alhamdulillah baru kesampaian sekarang, meskipun mungkin bukan dalam bentuk jurnal tapi sekadar tulisan lepas yang lebih mirip artikel semiakademik/jurnalistik.

Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi teman-teman, terutama yang memang bergelut di bidang sejarah dan metode historiografi agar bisa mengembangkan dan mengkritisinya. Sekali lagi, ini bukan artikel akademik, jadi masih sangat banyak ‘plothole’-nya untuk diperbaiki.

Terakhir, jika ada yang minat mengkaji berbagai aspek Islam & sains seperti sejarah, pemikiran tokoh, dll., saya sangat merekomendasikan membaca karya-karya Dr. Muzaffar Iqbal, terutama dua bukunya ‘Islam and Science’ (2002) dan ‘The Making of Islamic Science’ (2009), selain tentunya membaca sumber-sumber utama seperti tulisan Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Seyyed Hossein Nasr.

Artikel bisa diunduh di sini.

Lahirnya Sains di Dunia Islam itu Organik, Tidak Instan!

[Tulisan ini dimuat pertama kali di situs Santri Cendekia pada tanggal 26 Februari 2021]

Pernahkah anda mengalami kasus seperti ini? Anda ingin mempelajari bidang baru (katakanlah misalnya, data science) karena hal tersebut sedang populer. Berbagai kursus online dan bootcamp diikuti, buku-buku dan artikel-artikel terkait pun dibaca. Setelah beberapa waktu, anda akhirnya memahami dasar-dasar bidang tersebut. Namun pertanyaan masih tersisa: bagaimana mengaitkannya dengan pekerjaan profesional sehari-hari? Apa manfaat praktisnya? Bagaimana mengaplikasikannya ke persoalan ini dan itu? Pengetahuan dasar telah diperoleh, namun menggunakannya secara produktif masih jadi kendala. Merasa frustrasi dengan kemandekan yang dialami, anda akhirnya berhenti mendalaminya.

Setahun kemudian, anda bekerja di perusahaan baru yang menggunakan bidang tersebut dalam pekerjaannya. Karena tuntutan pekerjaan, bimbingan senior, lingkungan kerja, serta kolega yang sama-sama menggeluti bidang tersebut, anda akhirnya ‘dipaksa’ untuk mendalaminya lagi. Namun kali ini berbeda. Aplikasinya jelas (untuk masalah-masalah perusahaan), ada tempat bertanya jika mengalami kebingungan (kolega, mentor, dan senior), ditambah ada tuntutan profesional untuk menguasai bidang tersebut. Dengan kata lain, ada dinamika internal yang mendorong anda. Hasilnya, dalam waktu singkat bidang ini berhasil dikuasai – jauh lebih efektif dari usaha mandiri anda setahun sebelumnya.

II

Di tengah arus globalisasi dan kemudahan informasi ala The World is Flat-nya Thomas Friedman, banyak dari kita yang menganggap sains hanyalah ‘barang’ yang bisa diimpor siapa saja. Strategi impornya saja yang berbeda: ada yang mendatangi “pabrik”-nya langsung alias kuliah ke luar negeri, ada juga yang menghadirkan pabriknya berupa dosen, kurikulum, laboratorium, dan universitas cap luar negeri. Dengan cara demikian, diharapkan perkembangan sains di dalam negeri akan sama dengan (atau bahkan melebihi) negara-negara penghasil ‘pabrik’ sains tersebut. Akhirnya uang pun digelontorkan, beasiswa aktif digalang, instrumen-instrumen laboratorium didatangkan, dan kader-kader terbaik pun dikirimkan – semua dengan harapan aktivitas di dalam negeri terangkat dan suatu saat nanti bisa mengejar ‘ketertinggalan’ di dunia internasional.

Namun setelah dana digelontorkan, instrumen berdatangan, dan kader-kader terbaik pun pulang, sayangnya sains di negara berkembang tetaplah kurang berkembang – atau tidak berkembang cukup cepat. Instrumen yang mampu menghasilkan penemuan terkini di negara asalnya hanya menjadi pajangan setelah didatangkan. Lulus dari universitas ternama di luar negeri ternyata menjadi pencapaian tertinggi sepanjang hayat kader-kader terbaik tersebut. Impian melakukan lompatan (jumpstart) sains masih menjadi angan, meskipun dari segala usaha tersebut sekarang mereka paham kulit terluar sains sebagaimana dilakukan di negara maju penghasil sains.

Di mana salahnya? Apa yang kurang? Bagaimana memperbaikinya? Pertanyaan tersebut diajukan oleh orang yang mulai menyadari ada yang salah. Namun, kebanyakan menyimpulkan bahwa masalahnya adalah usaha kita masih kurang! We need more and more science! Maka uang semakin banyak digenlontorkan, instrumen semakin banyak didatangkan, dan orang-orang pun semakin banyak dikirimkan – sebelum akhirnya mereka sadar tidak ada lagi dana yang tersisa untuk diinvestasikan.

Tulisan ini tidak mengambil perspektif yang terakhir disebutkan. Barangkali, memang ada yang salah atau kurang dalam usaha kita menguasai sains. Di mana salahnya? Apa yang kurang? Bagaimana memperbaikinya? Mari mencoba menjawabnya – namun secara tidak langsung dengan pertama-tama melihat ke masa lampau.

III

Dari berbagai sumber dan literatur sekunder, kita tentu pernah mendengar bagaimana dulu peradaban Islam pernah menjadi primadona sains dunia. Namun sedikit yang mengkajinya dengan serius, sehingga terkesan menjadi apologia belaka dibandingkan pelajaran untuk diambil hikmahnya. Oleh karena itu, barangkali ini waktu yang tepat untuk melihat rekam sejarah dengan kacamata yang baru. Bagaimana sains tumbuh dan berkembang di peradaban Islam? Apa pelajaran yang bisa kita ambil? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang menjadi kunci.

Dalam bukunya The Making of Islamic Science (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), Dr. Muzaffar Iqbal menjelaskan dengan sangat elegan proses perkembangan enterprise sains dalam peradaban Islam. Disebutkan, dua revolusi berperan penting dalam pengembangan sains di peradaban Islam, yaitu revolusi sosial dan revolusi intelektual. Revolusi sosial disebabkan meluasnya wilayah geografis Islam yang menghasilkan masyarakat majemuk dari sisi ras, budaya, hingga struktur sosial. Revolusi intelektual disebabkan pertemuan dengan tradisi intelektual dari peradaban-peradaban lain seperti Yunani, Persia, dan India.

Sebagai hasil dua revolusi tersebut, tantangan-tantangan (atau boleh juga disebut dinamika internal) muncul di tengah umat Islam, dari yang sifatnya praktis hingga filosofis. Bagaimana menentukan arah kiblat untuk kota-kota yang jauh dari Ka’bah? Bagaimana perhitungan zakat dengan barang-barang yang tidak ada di Madinah dan tidak ada petunjuk umumnya? Bagaimana menerapkan sistem waris ala Islam untuk situasi-situasi yang tidak ada di zaman Nabi? Pertanyaan-pertanyaan di level sosial-politik-ekonomi ini timbul, ditambah juga perdebatan filosofis yang timbul dari proses penerjemahan karya-karya sains dan filsafat, khususnya dari Yunani. Bagaimana memfilter dan menyelaraskannya dengan ajaran Islam jika terdapat konflik? Penerjemahan, kritik, dan reformulasi terus dilakukan sehingga menghasilkan khazanah keilmuan yang sangat luas.

Di level praktis, barangkali salah satu contoh terbaik bagaimana dinamika internal mempengaruhi perkembangan sains dalam peradaban Islam dapat kita temukan di kitab al-Muḵtaṣar fī Ḥisāb al-Jabr wa-l-Muqābala karangan al-Khawarizmi – kitab yang menjadi dasar ilmu aljabar. Al-Khawarizmi menuliskan alasannya menulis kitab tersebut untuk menyelesaikan permasalahan waris dan masalah-masalah praktis geometri yang terjadi di zamannya (“(it is) useful in the calculation of what men constantly need to calculate [for their] inheritance and legacies, [their] portions and judgments, in their trade and in all their dealings with one another [in matters involving] measurement of land, the digging of canals, and geometrical [calculations], and other matters involving their crafts”). Bahkan Al-Khawarizmi mendedikasikan bagian kedua buku algebra-nya untuk diaplikasikan dalam menghitung zakat dan waris.

Hal yang sama juga dapat kita temukan dalam ilmu astronomi. Di bidang ini, lahir sub-disiplin bernama ‘ilm al-miqat yang berkenaan dengan perhitungan arah kiblat, waktu shalat, dan pergantian bulan. Kesemuanya lahir dari kebutuhan umat Islam yang meluas diakibatkan ekspansi geografis – sebagaimana sebelumnya dijelaskan.

Di level filosofis, dinamika internal yang terjadi di tubuh umat Islam pun tidak kalah menarik untuk diceritakan. Jauh sebelum kedatangan sains dan filsafat alam Yunani, umat Islam telah familiar dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan berpikir dan merefleksikan alam semesta sebagai tanda (āyāt) keberadaan-Nya. Al-Qur’an juga menyediakan “data kosmologis” yang menstimulus umatnya untuk berpikir seperti tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam ‘hari’ (7:54, 25:59), Allah-lah yang menciptakan siang dan malam serta matahari dan bulan (21:33), Allah-lah menundukkan matahari dan bulan agar beredar pada orbitnya masing-masing (39:5), dll. Ditambah lagi, ketika ilmu-ilmu dari peradaban lain masuk ke dunia Islam, ilmu-ilmu agama relatif telah mapan sehingga umat Islam memiliki framework yang kokoh untuk memfilternya.

Dalam konteks inilah, ilmu-ilmu seperti sains dan filsafat dari Yunani, Persia, dan India mengalami adopsi, adaptasi, dan rekacipta. Prosesnya tidak monolitik. Ada yang mencoba menyelaraskan filsafat Yunani dengan ajaran Islam seperti Ibnu Sina dan para falasifah, sementara yang lainnya memilih untuk membangun sistem pemikiran Islam yang digali dari Islam itu sendiri seperti Imam Al-Ghazali dan para mutakallimun. Saling kritik tentu terjadi, namun kita tidak akan masuk ke detail perdebatannya. Melainkan, hal yang digarisbawahi adalah bagaimana dinamika internal yang merupakan kombinasi dari kemapanan ilmu agama, masuknya ilmu-ilmu dari peradaban asing, dan kebutuhan untuk menilainya sesuai pandangan alam Islam mampu menghasilkan proses organik yang berkontribusi positif pada perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam.

IV

Lewat tilikan sejarah singkat tadi, kita dapat melihat bahwa perkembangan sains (atau lebih luas lagi, perkembangan keilmuan) dalam peradaban Islam adalah proses organik yang memang lahir dari kebutuhan internal umat Islam, baik dari ranah praktis maupun filosofis. Meskipun berinteraksi dengan tradisi keilmuan dari luar, perkembangannya tidak dilandasi catching-up syndrome karena ingin ‘mengejar’ peradaban lain.

Sayangnya, dibanding fokus membangun dinamika internal untuk mengembangkan sains, kita lebih sering memburu sains hanya karena ingin mengikuti tren dunia internasional. IoT, Big Data, revolusi industri 4.0, dan berbagai jargon dikemukakan secara superfisial – terutama pada kampanye politik ketika membahas sains dan teknologi. Tentu bukan berarti menguasai bidang-bidang tersebut adalah buruk. Namun seringkali sains kemudian diburu tanpa didahului oleh proses organik yang melandasinya. Akibatnya, sains yang dihasilkan selalu berupa karikatur second-rate dibandingkan sains di negara asalnya.

Putra-putri terbaik bangsa yang kuliah ke luar negeri untuk belajar sains dan teknologi terkini di berbagai bidang kemudian sering dihadapkan dengan dilema: ketika pulang, mereka menyadari bahwa bidang keilmuan yang susah-payah dikuasainya tidak (atau belum) terpakai di dalam negeri. Mengapa demikian? Di zaman sekarang, riset biasanya dibiayai lembaga atau institusi tertentu. Mereka tentu punya kepentingan. Pertanyaannya, samakah kepentingan mereka dengan kepentingan dalam negeri? Samakah dinamika internal yang mereka hadapi dengan yang kita hadapi? Bukankah wajar jika latar belakangnya saja sudah berbeda, arah risetnya juga akan berbeda? Akhirnya ketika pulang ilmunya tidak terpakai.  Bagi mereka yang sadar dan punya kesempatan kemudian memilih untuk kembali ke luar negeri agar bisa mengaktualisasikan ilmunya.

‘Berkiblat’ kepada negara maju dalam hal sains bukanlah hal yang buruk. Bahkan, penting mempelajari sains langsung dari ahlinya. Peradaban Islam pun pada mulanya menerima ilmu dari peradaban lain. Namun harus kita sadari bahwa ‘kiblat’ sains bukanlah kiblat shalat yang kita semua menghadap tanpa kompromi. Perubahan dan adaptasi pasti ada, dan yang menentukannya adalah proses dinamika internal dari bangsa kita sendiri. Bagaimana kita seharusnya memandang perkembangan sains dan teknologi? Apa yang benar-benar kita butuhkan? Seperti apa prioritasnya? Bagaimana strategi pembangunannya? Inilah yang harus dipikirkan terlebih dahulu. Jika tidak, usaha kita men-jumpstart sains tanpa terlebih dahulu melalui proses dinamika internal ibarat membangun gedung pencakar langit tanpa pondasi.

Misalnya di bidang kelistrikan, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki tantangan tersendiri untuk membangun sistem-sistem kecil kelistrikan di daerah terpencil dan menghubungkannya ke sistem yang lebih besar. Dibanding mengejar Tesla yang sudah memproduksi mobil listrik (padahal kita belum mempunyai backbone industri dan pengetahuan semapan mereka), bukankah riset-riset seperti microgrid dan interkoneksi kelistrikan antar pulau lebih dibutuhkan? Hal ini sama sekali bukan berarti risetnya rendahan karena masih berkutat di wilayah eletrifikasi sebagai kebutuhan dasar. Bahkan, jika dibangun dengan baik, barangkali Indonesia dapat menjadi benchmark dunia di bidang elektrifikasi skala kecil dan interkoneksi antar pulau. Dinamika internal seperti inilah yang harus kita rumuskan.

Sebagai penutup, marilah kita sama-sama merenungi potret kondisi perkembangan sains di negara-negara berkembang (yang banyak diantaranya adalah negara mayoritas Muslim) yang dituliskan dalam buku Dr. Muzaffar Iqbal tersebut:

What these states have done in terms of their efforts for producing science is like erecting a building without a foundation. They sent thousands of students to Europe and North America to obtain doctorates in various branches of science with the hope that they could jump-start the production of science upon their return. The results could have been expected: armed with their PhDs, these students returned home to find there was no infrastructure to do science. Libraries with the latest journals, laboratories with working instruments, industry in need of scientific and technological solutions to its problems, large pharmaceutical and defense industries (which feed enormous sums of money into the enterprise of science in the West)—none of these features of modern scientific research were present in the Muslim world, to which a substantial number of Western-trained men and women returned in the last quarter of the twentieth century. These were, however, not necessarily scientists but merely men and women who had been awarded degrees by Western universities and who could do little more than repeat what they had done during their stay abroad. Those who could do truly original scientific research realized they would have to return to the West to do what their profession demanded, for conditions at home were simply not suitable. And so many returned to the West, not in the hundreds or thousands but in the hundreds of thousands. These men and women now work in laboratories and universities as far north as the Arctic and as far south as the South Pole. They are part of the Western scientific enterprise—able scientists who have made substantial contributions to modern science.

Wallahu a‘lam.

Mengapa Sarang Lebah Madu Berbentuk Segi Enam? Antara Al-Ghazālī dan Charles Darwin

“…Surely in this is a sign for those who reflect.” – Q.S. An-Naḥl (The Bee) [16]:69

Bentuk segi enam (hexagon) sarang lebah madu barangkali merupakan salah satu contoh terbaik betapa menakjubkannya ‘kerja’ alam semesta. Pertanyaan tentu timbul, bagaimana para lebah madu dapat berkoordinasi dalam membuat bentuk yang kompleks? Mengapa segi enam? Mengapa bukan lingkaran, segitiga, atau persegi? Dari sinilah, ketakjuban dan rasa penasaran berubah menjadi penelitian.

Namun demikian, persoalan bentuk segi enam sarang lebah madu sebenarnya bukanlah barang baru. Misalnya, sekitar abad ke-36 SM Marcus Terentius Varro (116-27 SM) menyebutkan alasan bentuk segi enam sarang lebah madu adalah: 1) kecocokannya dengan kaki lebah madu yang juga berjumlah enam; 2) bukti geometris bahwa bentuk segi enam mampu menghasilkan rasio luas per keliling terbesar.[1] Terkait argumen kedua, Pappus of Alexandria (290-350) juga menulis hal senada dengan menyatakan bahwa bentuk segi enam lebih baik daripada persegi atau segitiga dalam hal rasio kapasitas menyimpan madu terhadap lilin yang digunakan untuk membuat bentuk geometri bersangkutan.[2] Hingga sekarang pun masih banyak yang menjadikan bentuk sarang lebah madu ini sebagai objek penelitian.

Di antara banyak orang yang mengamati bentuk segi enam sarang lebah madu, adalah hal yang menarik bahwa dua nama besar, Abū Ḥāmid Al-Ghazālī (1058-1111) dan Charles Robert Darwin (1809-1882), termasuk didalamnya. Imam Al-Ghazālī, sebagaimana yang kita tahu, adalah seorang ulama besar di zamannya yang telah menulis berbagai macam kitab yang masih dikaji hingga saat ini – terutama Iḥyā′ ‘Ulūm al-Dīn. Darwin, sebagaimana yang kita tahu juga, merupakan seorang saintis yang terkenal karena kontribusinya dalam teori evolusi.

Namun, yang membuat dua nama itu menarik untuk dibahas bukan hanya karena ketenarannya. Bukan tujuan tulisan ini juga untuk ,enitikberatkan siapa lebih dahulu dari siapa. Sebaliknya, yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana keduanya mengamati fenomena alam yang sama (bentuk segi enam sarang lebah madu) namun sampai pada kesimpulan yang sama sekali berbeda. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan bagaimana berbedanya pandangan kedua sosok tersebut dan pelajaran apa yang bisa kita ambil darinya. Hal ini menarik untuk dibahas karena di tengah-tengah klaim bahwa pengamatan alam (re: sains) itu netral, kasus ini menunjukkan bahwa perbedaan filosofis sang pengamat mampu membuat kesimpulan akhirnya berbeda juga.

Oleh karena itu, pada bagian berikutnya kita akan menyelami bagaimana Al-Ghazālī dan Darwin mengamati sarang lebah madu dan apa kesimpulan yang dicapai masing-masing.

Al-Ghazālī, Sarang Lebah Madu, dan Sang Maha Pemberi Rahmat

Sekitar abad ke-12, di masa setelah Imam Al-Ghazālī menyelesaikan magnum opusnya Iḥyā′ ‘Ulūm al-Dīn dan juga ketika beliau berada di masa puncak intelektual dan spiritualnya, beliau menyelesaikan kitab berjudul Jawāhir Al-Qur’ān (The Jewels of the Qur’ān)[3] yang berisikan pemahamannya terhadap kitab suci Al-Qur’an. Adalah pada bab ke-12 yang berjudul “Secrets of the Sūra of the Opening (al-Fātiḥah), and how it comprises eight of the ten valuables of the Qur’ān” kita bisa menemukan penjelasan Al-Ghazālī tentang bentuk segi enam sarang lebah madu.

Al-Ghazālī memulai tulisannya di bab tersebut dengan membahas dua ʾasmāʾul ḥusnā yang terdapat pada surat Al-Fātiḥah: Ar-Raḥmān dan Ar-Raḥīm. Kedua ʾasmāʾul ḥusnā tersebut terdapat pada ayat pertama dan ketiga surat al-Fātiḥah. Mengapa terjadi ‘pengulangan’ penyebutan kedua nama tersebut? Beliau menulis:

The words of God, “Most Gracious, Ever Merciful” (الرحمن الرحيم), the second time, indicate His attribute once again. Do you imagine that this is a repetition? There is no repetition in the Qur’ān, for repetition is defined as that which does not contain any additional benefit. The mention of mercy after the mention of “all the worlds” and before the mention of “the Master of the Day of Judgement”, has two great benefits in expounding the channels of mercy. One pays attention to creation to creation by the Lord of all the worlds – He has created every one of these according to the most perfect and best of its kind and has given it everything it needs.[4]

Kemudian beliau menjelaskan bagaimana Allah memanifestasikan rahmat-Nya kepada hewan dengan memberi contoh nyamuk, lalat, laba-laba, dan lebah madu. Tentang lebah madu, beliau menulis:

Look at the bee and the innumerable wonders of its gathering honey and [producing] bees-wax. We [should like to] make you aware of the geometry of its hive. It is built on the figure of the hexagon in order that space may not be narrow for its companies who become crowded in one place in a great number. If it should build its hive circular, there would remain, outside the circular hive, an empty space since circles are not contiguous to one another. Likewise are all other figures. As to squares, they are contiguous to one another, but the shape of the bee is inclined to roundness and so inside the hive there would remain empty corners as, in a circular house, there would remain an empty corner outside the house. Thus none of the figures other than the hexagon approaches the circular figure in contiguity, and this is known by geometrical proof. Consider, then, how God has guided the bee to the characteristic of this figure.

This is a sample from the wonders of God’s works and His kindness and mercy to His creation, for the lowest constitutes an evidence of the highest.[5]

Dengan kata lain, Al-Ghazālī mengatakan bahwa kita dapat melihat tanda-tanda kehadiran rahmat Allah dari alam sekitar (dalam kasus ini lebah madu). Bentuk segi enam yang tepat untuk sarang lebah madu (dibandingkan dengan persegi atau lingkaran) merupakan bukti kehadiran rahmat Allah tersebut. Tentunya, lebah madu membangun sarangnya atas petunjuk Allah, sebagaimana firman-Nya:

Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (Q.S. An-Naḥl [16]:68-69)

Barangkali, inilah salah satu contoh bagaimana alam semesta dipelajari sebagai tanda (āyāt, sign) adanya Sang Pencipta. Sebagaimana Firman Allah di surat yang lain, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar.” (Q.S. Fuṣṣilat [41]:53)

Namun untuk sekarang kita simpan dulu pembahasan lebih lanjut tentang bagaimana Islam mendudukkan pengamatan alam (yang sekarang kita sebut sains) sebagai sarana untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Sekarang, mari kita melangkah tujuh abad ke depan (abad ke-19), tepatnya ke tahun 1859 – tahun dimana Charles Darwin pertama kali menerbitkan bukunya yang berjudul On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life[6], atau lebih populer disebut The Origin of Species.

Darwin, Sarang Lebah Madu, dan Seleksi Alam

Penjelasan teologis tentang sarang lebah madu bukan menjadi monopoli Al-Ghazālī atau umat Islam semata. Pada abad ke-19 pun kita masih dapat menemukan jejaknya di Barat. Hal ini dapat kita temukan misalnya pada buku Dissertations on Subjects Connected with Natural Theology (1839) oleh Lord Brougham. William Kirby juga melakukan penjelasan serupa dengan mendeskripsikan lebah madu sebagai ‘heaven-instructed mathematicians’ dalam membuat sarangnya.[7]                                                   

Darwin tentunya mengetahui penjelasan ini. Hal ini dibuktikan dengan catatannya pada buku Lord Brougham tersebut. Di salah satu halamannya, ia menulis “very wonderful – it is as wonderful in the mind as certain adaptations in the body – the eye for instance, if my theory explains one it may explain other.[8] Maka tidaklah mengherankan jika dalam The Origin of Species, Darwin mendedikasikan bahasan khusus terkait bentuk segi enam sarang lebah madu dalam bab bertajuk Instinct (bab VII).

Darwin menyadari pentingnya membahas lebah madu pada bab ini, karena penjelasan teologis yang telah dijelaskan oleh Brougham, Kirby, dan lainnya menjadi tantangan bagi penjelasan naturalistiknya. Ia menulis:

THE subject of instinct might have been worked into the previeous chapters; but I have thought that it would be more convenient to treat the subject separately, especially as so wonderful an instinct as that of the hive-bee making its cells will probably occurred to many readers, as a difficulty sufficient to overthrow my whole theory.[9]

Namun Darwin tidak mendefinisikan naluri (instinct) secara lugas di sini. Ia hanya mengatributkannya dengan kebiasaan (habit) atau keadaan alamiah (state of nature).[10] Darwin pun menolak anggapan bahwa naluri diperoleh “dari sananya” dan tidak dapat diubah. Sejalan dengan ungkapan natura non facit saltum (nature does not make a jump), ia menulis:

But it would be the most serious error to suppose that the greater number of instincts have been acquired by habit in one generation, and then transmitted by inheritance to succeeding generations. It can be clearly shown that the most wonderful instincts with which we are acquainted, namely, those of the hive-bee and of many ants, could not possibly have been thus acquired…

Under changed conditions of life, it is at least possible that slight modifications of instinct might be profitable to a species; and it can be shown that instincts do vary ever so little, then I can see no difficulty in natural selection preserving and continually accumulating variations of instinct to any extent that may be profitable. It is thus, as I believe, that all the most complex and wonderful instincts have originated.[11]

Dengan kata lain, Darwin ingin menunjukkan bahwa naluri alamiah (seperti naluri membuat sarang lebah madu yang kompleks) sejatinya lahir dari proses iteratif yang sederhana, dan segala macam habit atau state of nature bisa berubah jika dihadapkan pada kondisi seleksi alamversi Darwin. Tentunya, untuk membuktikan teorinya tersebut, Darwin harus mengambil contoh kasus sarang lebah madu. Hal ini tidak ia lewatkan, sebagaimana tulisannya:

We shall, perhaps, best understand how instincts in a state of nature have become modified by selection, by considering a few cases. I will select only three, out of the several which I shall have to discuss in my future work, – namely, the instinct which leads the cuckoo to lay her eggs in other birds’ nests; the slave-making instinct of certain ants; and the comb-making power of the hive bee: these two latter instincts have generally, and most justly, been ranked by naturalists as the most wonderful of all known instincts.[12]

Maka Darwin perlu membuktikan dua hal: 1) bagaimana bentuk sarang lebah berkembang seiring berjalannya waktu; 2) bagaimana lebah madu membangun sarangnya dengan kerangka teori naluri yang berkembang tersebut.[13]

Untuk poin pertama, Darwin mengambil tiga contoh spesies lebah: bumblebee, hivebee (lebah madu), dan Melipona domestica Mexico. Bumblebee memiliki sarang yang berbentuk cenderung setengah bola, sementara sarang lebah madu berbentuk segi enam dengan piramida belah ketupat di ujung selnya. Sementara itu, sarang Melipona domestica mengambil bentuk pertengahan, yaitu silinder untuk sel yang kecil (berguna untuk menetaskan larva) dan setengah bola untuk sel yang besar (berguna untuk menyimpan madu).[14] Dari sinilah Darwin kemudian berteori bahwa naluri lebah didapatkan dari proses seleksi alam. Dengan kata lain, naluri lebah membuat sarang berevolusi dari acak dan sederhana (sarang setengah bola bumblebee) menjadi teratur dan kompleks (sarang segi enam lebah madu).[15] Darwin menyatakan ulang teorinya di akhir paragraf, “I believe that the hive-bee has acquired, through natural selection, her inimitable architectural powers.”[16]

Untuk poin kedua (sekaligus memperkuat argumen naluri yang terakumulasi dan seleksi alam), Darwin melakukan tiga eksperimen. Pada eksperimen pertama, ditemukan bahwa para lebah madu awalnya membuat sel berbentuk setengah bola (bentuk sederhana). Ketika dua sel kubah berdekatan dan nyaris beririsan, para lebah madu terseut kemudian membangun dinding rata antara kedua sel sehingga bentuk segi enam dapat tercapai.[17] Pada eksperimen kedua, setelah Darwin memberi lebah madu lapisan lilin yang tipis. Jika para lebah madu membangun sarang seperti biasa dan mencoba membangun piramida belah ketupat di dasar sel, maka sel tersebut akan jebol. Akan tetapi, para lebah madu justru beradaptasi dengan mebuat sel yang lebih cetek dan memiliki dasar yang lebih rata.[18] Pada eksperimen ketiga, Darwin memberikan lapisan lilin merah kepada lapisan terluar sarang lebah madu untuk mengamati bagaimana proses pembentukan selnya.[19]

Berdasarkan pengamatan ketiga jenis lebah (humblebee, Melipona domestica,dan lebah madu) serta eksperimen yang menunjukkan lebah madu membuat sarangnya dari bentuk yang lebih sederhana (setengah bola/lingkaran) menuju kompleks (segi enam), Darwin kemudian menyimpulkan bahwa naluri hewani bisa dijelaskan dengan teori seleksi alam – yaitu modifikasi naluri alamiah (state of nature) yang lebih sederhana secara perlahan. Mengutip kalimatnya, “Thus, as I believe, the most wonderful of all known instincts, that of the hive-bee, can be explained by natural selection having taken advantage of numerous, successive, slight modifications of simpler instincts.”[20]

Darwin, sebagaimana Al-Ghazālī, kemudian juga menjawab mengapa pada akhirnya lebah madu memilih bentuk segi enam. Ia mengetahui dari korespondensinya dengan Tegetmeier bahwa untuk menghasilkan 1 pound lilin, lebah madu harus mengkonsumsi 12-15 pound gula.[21] Dari sini, Darwin kemudian mengaitkan hasil pengamatannya terhadap lebah madu dengan teori seleksi alam yang ia gadang-gadang. Ia menulis:

The motive power of the process of natural selection having been economy of the wax; that individual swarm which wasted least honey in the secretion of wax, having succeeded best, and having transmitted by inheritance its newly acquired economical instinct to new swarms, which in their turn will have had the best chance of succeeding in the struggle for existence.[22]

Artinya, tidak ada yang spesial (atau dalam bahasa Kirby, ‘heaven-instructed’) dari bentuk segi enam sarang lebah madu. Hal tersebut hanyalah keluaran yang paling logis dari mekanisme seleksi alam alias survival of the fittest. Dengan demikian, Darwin berhasil memberikan alternatif penjelasan naturalistik di bidang yang sebelumnya didominasi penjelasan teologis.

Antara Al-Ghazālī, Darwin, Sains, dan Ayat Kawniyyah

Lewat bukti geometris sederhana, kita dapat membuktikan bahwa segi enam adalah bentuk yang memiliki rasio luas per keliling terbesar jika dibandingkan dengan segi tiga sama sisi dan persegi.[23] Matematikawan Thomas C. Halles pun pada 1999 telah membuktikan teorema umum honeycomb conjecture: kisi-kisi (grid) segi enam merupakan cara terbaik untuk membagi sebuah bidang menjadi pecahan-pecahan sama luas dengan keliling paling sedikit.[24] Oleh karena itu, meskipun mereka berdua tidak membuktikannya secara matematis, nampaknya Al-Ghazālī dan Darwin tepat ketika berkeyakinan bahwa bentuk segi enam adalah bentuk yang paling baik untuk menyimpan sebanyak-banyaknya madu dengan menggunakan lilin sesedikit-sedikitnya.

Bukan tujuan tulisan ini untuk mengklaim Al-Ghazālī telah mendahului Darwin atau semacamnya. Melainkan, yang menarik adalah bagaimana keduanya kemudian menggunakan fakta tersebut untuk mendukung teori yang sama sekali berbeda. Al-Ghazālī menggunakannya sebagai bukti rahmat Allah pada seluruh makhluk (penjelasan teologis), sementara Darwin menggunakannya sebagai bukti teori seleksi alamnya (penjelasan naturalistik). Keduanya mengamati objek yang sama – aktivitas yang sekarang kita labeli sebagai sains – namun sampai pada kesimpulan yang berseberangan.

Barangkali inilah contoh konkret bahwa sains tidak selamanya netral. Ada paradigma yang digunakan, dan paradigma tersebut pada akhirnya bermuara pada pandangan alam (worldview) sang ilmuwan. Oleh karena itulah, pandangan alam dianggap sebagai kerangka kerja yang mendasari segala aktivitas ilmiah (general framework out of which follow scientific and technological activities).[25] Dalam hal ini, pandangan alam naturalistik dan tawhīd tentunya berbeda dalam menyikapi sebuah fenomena alam.

Dalam pandangan alam Islam, alam semesta – sebagaimana kitab suci Al-Qur’an – dideskripsikan sebagai “buku” yang berbicara tentang penciptanya.[26] Alam semesta disebut sebagai ayat kawniyyah yang didampingkan dengan Al-Qur’an sebagai ayat qawliyyah. Maka hakikat sains dalam pandangan alam Islam adalah mempelajari alam sebagai tanda (āyāt) keberadaan Sang Pencipta. Sebagaimana yang ditulis Prof. Al-Attas, “Now the word as it really is is a sign, a symbol; and to know it as it really is is to know what is stand for, what it symbolizes, what it means. To study the word as word, regarding as if it had an independent reality of its own, is to miss the real point of studying it….”[27]

Namun sebagaimana ayat qawliyyah ada yang muḥkamāt (jelas) dan ada yang mutasyābihāt (samar-samar), ayat kawniyyah pun terdiri dari ayat muḥkamāt dan mutasyābihāt. Sayangnya, karena alam semesta bersifat fisik, secara umum ia bersifat samar-samar dan sekilas terlihat seperti memiliki realitas yang independen.[28] Maka dari itu, penjelasan naturalistik ala Darwin[29] bisa dikatakan sebagai sains yang lahir dari alam semesta yang dipandang sebagai realitas independen. Akan tetapi, penjelasan Darwin meskipun didukung oleh fakta empiris tetap tidak sejalan dengan konsep sains dalam pandangan alam Islam, yaitu mengkaji alam semesta sebagai ayat Allah. Alih-alih memandang alam sebagai tanda keberadaan Allah, penjelasan naturalistik Darwin lebih sinkron dengan salah satu tabiat sekularisme, yaitu disenchantment of nature.[30] Alam diceraikan dari pesona ilahi, sehingga yang tersisa adalah penjelasan naturalistik yang tentunya tidak memandang alam semesta sebagai tanda kebesaran Allah.

Sebaliknya, penjelasan Al-Ghazālī sangat selaras dengan konsep alam sebagai ayat dalam pandangan alam Islam, meskipun barangkali bukti empirisnya tidak sebanyak Darwin (namun ini bisa dimaklumi karena Jawāhir Al-Qur’ān bukan kitab sains). Al-Ghazālī berangkat dari pengamatan empiris terhadap alam, namun fakta empiris yang beliau dapat ditempatkan dalam kerangka (framework) pandangan alam Islam. Alhasil, Al-Ghazālī mampu mengaitkan antara fakta keistimewaan bentuk segi enam sarang lebah madu dengan sifat Allah sebagai Maha Pengasih (Ar-Raḥmān) dan Maha Penyayang (Ar-Raḥīm).

Penutup

Pada tulisan ini, kita telah melihat bagaimana suatu fenomena alam dapat ditafsirkan ke dalam pandangan alam Islam maupun sekular, dan keduanya menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Al-Ghazālī, menggunakan kerangka pandangan alam Islam, mengaitkan bentuk segi enam sarang lebah madu dengan bukti rahmat Allah bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Darwin, mengandalkan penjelasan naturalistik sebagai konsekuensi logis sekularisme, juga mengaitkan fakta yang sama dengan teori seleksi alamnya.

Maka sains tidak selamanya merupakan fakta kering (dry facts) tanpa muatan nilai apapun. Sains pun tidak sama dengan fakta, karena sains adalah interpretasi sang ilmuwan dari fakta yang diamati. Dan telah kita sama-sama ketahui dari bahasan ini, bagaimana pandangan alam seseorang dapat mempengaruhi kesimpulan yang diambil dari sebuah pengamatan fenomena alam.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah evaluasi kritis bagaimana menempatkan sebuah fakta ke dalam kerangka pandangan alam Islam. Hal ini penting perlu dilakukan, karena sekarang pun filsafat modern telah menjadi penafsir dari sains modern.[31] Prof. Al-Attas menyadari situasi ini, maka sangat logis ketika beliau mengajukan bahwa interpretasi dan arah penyelidikan dari sains modern perlu dikritisi.[32] Inilah yang seharusnya menjadi perhatian umat Islam, yaitu mengembangkan sains dengan kerangka pandangan alam Islam.

Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.

***

Daftar Pustaka

Abū Ḥāmid Al-Ghazālī, The Jewels of the Qur’an: Al-Ghazali’s Theory (terj. Jawāhir Al-Qur’ān), Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1977.

Alparslan Açıkgenç, Scientific Thought and Its Burdens: An Essay in the History and Philosophy of Science, Istanbul: Fatih University Publications, 2000.

B.L. Karihaloo, K. Zhang, J. Wang, Honeybee Combs: How the Circular Cells Transform into Rounded Hexagons, Journal of the Royal Society Interface 10: 20130299, 2013.

Charles Darwin, On the Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life, London: John Murray, 1859.

Francesco Nazzi, The Hexagonal Shape of the Honeycomb Cells Depends on the Construction Behavior of Bees, Scientific Reports 6, 28341, 2016.

Marcus Porcius Cato & Marcus Terentius Varro, Cato and Varro: On Agriculture, Cambridge: Harvard University Press, 1934.

Muzaffar Iqbal, Darwin’s Shadow: Context and Reception in the Western World, Islam & Science, vol. 6, no. 2, 2008.

Robert J. Richards, Instinct and Intelligence in British Natural Theology: Some Contributions to Darwin’s Theory of the Evolution of Behavior, Journal of the History of Biology, vol. 14, no. 2, 1981, pp. 193-230.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islām & Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993 (cet. pertama 1978).

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islām: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islām, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Positive Aspects of Taṣawwuf: Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science, Kuala Lumpur: ASASI, 1981.

Thomas Heath, A History of Greek Mathematics, Vol. II, Oxford: Clarendon Press, 1921.

T.C. Hales, The Honeycomb Conjecture, Discrete and Computational Geometry 25, 2001, hlm. 1-22.

William Kirby, On the Power, Wisdom and Goodness of God as Manifested in the Creation of Animals and in Their History, Habits, and Instincts, vol. 2, New York: Cambridge University Press, 2009.

https://www.darwinproject.ac.uk/commentary/life-sciences/evolution-honeycomb, diakses 4 November 2020 pukul 04:39 WIB.

Ucapan Terimakasih

Tulisan ini terinspirasi dari ceramah Dr. Muzaffar Iqbal berjudul Islam, Muslims, and the Challenge of Evolution yang dipresentasikan pada CILE 3rd Annual International Conference 2015 dengan tema “Islam and Modern Ethical Dilemmas”. Selain itu, tulisan beliau di jurnal Islam & Science berjudul Jewels, Honey, Blindness, and Sight (2007) juga sangat membantu penulis dalam merumuskan gagasan-gagasan pada tulisan ini. Oleh karena itu, penulis berterimakasih kepada Dr. Muzaffar Iqbal atas inspirasinya dalam membuat tulisan ini.


[1] Marcus Porcius Cato & Marcus Terentius Varro, Cato and Varro: On Agriculture, Cambridge: Harvard University Press, 1934, hlm. 501. Kalimat lengkapnya berbunyi: “Does not the chamber in the comb have six angles, the same number as the bee has feet? The geometricians prove that this hexagon inscribed in a circular figure encloses the greatest amount of space.”

[2] Thomas Heath, A History of Greek Mathematics, Vol. II, Oxford: Clarendon Press, 1921, hlm. 390. Kalimat lengkapnya berbunyi: “Bees, then, know just this fact which is of service to themselves, that the hexagon is greater than the square and the triangle and will hold more honey for the same expenditure of material used in constructing the different figures.”

[3] Abū Ḥāmid Al-Ghazālī, Jawāhir Al-Qur’ān, diterjemahkan oleh Muhammad Abul Quasem menjadi The Jewels of the Qur’an: Al-Ghazali’s Theory, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1977.

[4] Ibid, hlm.67. Cetak tebal oleh penulis.

[5] Ibid, hlm. 68-69. Cetak tebal oleh penulis.

[6] Charles Darwin, On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life, London: John Murray, 1859.

[7] William Kirby, On the Power, Wisdom and Goodness of God as Manifested in the Creation of Animals and in Their History, Habits, and Instincts, vol. 2, New York: Cambridge University Press, 2009 (cet. pertama 1835), hlm. 337. Lihat juga https://www.darwinproject.ac.uk/commentary/life-sciences/evolution-honeycomb, diakses 4 November 2020 pukul 04:39 WIB.

[8] Robert J. Richards, Instinct and Intelligence in British Natural Theology: Some Contributions to Darwin’s Theory of the Evolution of Behavior, Journal of the History of Biology, vol. 14, no. 2, 1981, hlm. 211-212.

[9] Charles Darwin, On the Origin of Species…., hlm. 207. Cetak tebal oleh penulis.

[10] Ibid, hlm. 207-209, 211.

[11] Ibid, hlm. 209.

[12] Ibid, hlm. 216. Cetak tebal oleh penulis.

[13] https://www.darwinproject.ac.uk/commentary/life-sciences/evolution-honeycomb.

[14] Charles Darwin, On the Origin of Species…., hlm. 225-226.

[15] Ibid, hlm. 226-228.

[16] Ibid, hlm. 227-228.

[17] Ibid, hlm. 228. Sebuah laporan terbaru di Nature mengkonfirmasi hal ini. Pada laporan tersebut, penelitinya mengamati bahwa jika tidak ada sel lain yang berdekatan dengan sebuah sel, bentuk dinding-dinding ujung dari sel tersebut akan menyerupai lingkaran dan tidak bersudut. Akan tetapi, jika ada sel lain yang berdekatan, dinding pemisah antara keduanya akan berbentuk rata layaknya sisi segi enam. Akan tetapi, masih diperdebatkan apakah dinding segi enam itu dibuat dari awal oleh para lebah madu ataukah bermula dari sel lingkaran yang kemudian memanas hingga menjadi segi enam. Lebih lengkapnya, lihat Francesco Nazzi, The Hexagonal Shape of the Honeycomb Cells Depends on the Construction Behavior of Bees, Scientific Reports 6, 28341, 2016. Lihat juga B.L. Karihaloo, K. Zhang, J. Wang, Honeybee Combs: How the Circular Cells Transform into Rounded Hexagons, Journal of the Royal Society Interface 10: 20130299, 2013.

[18] Ibid, hlm. 228-229.

[19] Ibid, hlm. 231-234. Lihat juga Francesco Nazzi, The Hexagonal Shape…., hlm. 2-3.

[20] Ibid, hlm. 235.

[21] Ibid, hlm. 233.

[22] Ibid, hlm. 235. Cetak tebal oleh penulis.

[23] Secara geometris sebenarnya lingkaran memiliki rasio luas per keliling yang lebih besar dari segi enam. Akan tetapi, hanya segitiga sama sisi, persegi, dan segi enamlah yang mampu disusun secara bertumpuk tanpa menyisakan ruang kosong. Oleh karena itu, hanya ketiga bentuk tersebut yang dipertimbangkan dalam opsi bentuk sarang lebah madu.

[24] Lihat T.C. Hales, The Honeycomb Conjecture, Discrete and Computational Geometry 25, 2001, hlm. 1-22.

[25] Alparslan Açıkgenç, Scientific Thought and Its Burdens: An Essay in the History and Philosophy of Science, Istanbul: Fatih University Publications, 2000, hlm. 82-83.

[26] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Positive Aspects of Taawwuf: Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science, Kuala Lumpur: ASASI, 1981, hlm. 7.

[27] Ibid, hlm. 6. Cetak tebal oleh penulis.

[28] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islām: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islām, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995, hlm. 136.

[29] Mengenai konteks intelektual Darwin serta pandangannya terhhadap kosmologi dan agama di saat ia menerbitkan bukunya, lihat Muzaffar Iqbal, Darwin’s Shadow: Context and Reception in the Western World, Islam & Science, vol. 6, no. 2, 2008, hlm. 99-122.

[30] Mengenai sekularisme dan disenchantment of nature, lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islām & Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993 (cet. pertama 1978), hlm. 17-20.

[31] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena…., hlm. 113.

[32] Ibid.