Antara Mitologi dan Teknologi: Refleksi Atas Buku Gods and Robots – Adrienne Mayor

Dalam bukunya Profiles of the Future: An Inquiry to the Limits of the Possible (1962), Arthur C. Clarke – seorang inventor, futurolog, dan co-writer screenplay film 2001: A Space Odyssey – menyatakan adagium terkenalnya yaitu “any sufficiently advanced technology is indistinguishable from magic.” Dua tahun setelahnya (1964), dalam sebuah acara BBC ia membuat berbagai prediksi masa depan terhadap teknologi-teknologi yang sekarang kita sebut sebagai handphone, internet, artificial intelligence, dan sebagainya [1]. Hal ini – beserta prediksi dan karya lainnya – membuat Clarke mendapat julukan “Prophet of the Space Age”.

Melihat kemajuan pesat teknologi sekarang, semua tentu terkagum-kagum. Kata “indistinguishable from magic” seakan tidak terlalu hiperbolik mendeskripsikannya. Kemajuan terkini di bidang robotika dan kedokteran misalnya membuat kita merasa bahwa hal ini sepenuhnya baru dalam episode peradaban manusia. Belum pernah umat manusia mencapai titik ini.

Namun bagaimana jika perspektifnya dibalik? Alih-alih kecanggihan teknologi membuatnya seakan-akan seperti sihir, bagaimana jika sihir, mitologi, fantasi, dan semacamnya memiliki paralel dengan (atau bahkan menginspirasi) perkembangan teknologi sekarang?

Tahukah kita, mimpi teknologi seperti mesin yang memiliki kepintaran seperti manusia dan hidup abadi melampaui batasan biologis ternyata sudah ada sejak zaman dahulu? Tahukah kita, ada kemiripan antara mimpi mitologi masa lalu dan mimpi teknologi masa kini? Hal inilah yang menjadi bahasan utama buku berjudul Gods and Robots: Myths, Machines, and Ancient Dreams of Technology (2018) karangan Adrienne Mayor. Buku ini bercerita tentang kemiripan antara mimpi mitologi dan mimpi teknologi.

Misalnya, mimpi robot yang memiliki kepintaran seperti manusia tidak bermula dari novel Frankenstein karangan Mary Shelley tahun 1818 atau paper Alan Turing tahun 1950 [2], melainkan robot bernama Talos dari mitologi Yunani. Talos dideskripsikan sebagai “an animated metal machine in the form of a man, able to carry out complex human-like actions.” (hlm.7) Bahkan, Talos digambarkan sebagai robot yang memiliki emosi [3].

Mimpi kehidupan abadi juga digambarkan dalam mitologi Eos dan Tithonus. Alkisah, Eos sang dewi fajar jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan manusia bernama Tithonus [4]. Agar tidak kehilangan kekasihnya, Eos lalu meminta kepada ayahnya Zeus untuk membuat Tithonus hidup abadi (hlm.53). Di zaman sekarang pun, mimpi melampaui batasan biologis manusia masih terus dikejar. Misalnya, Ray Kurzweil dalam bukunya The Singularity is Near (2005) membuat prediksi bagaimana perkembangan GNR (Genetics, Nanotechnology, Robotics) akan mampu membuat manusia jauh melampaui batasan biologisnya saat ini.

Namun sebagaimana yang kita tahu, mitologi – terutama mitologi Yunani – selain dipenuhi dengan harapan juga sering berujung tragedi. Dalam kasus Talos misalnya, emosinya justru membuatnya tertipu oleh Medea yang memberinya iming-iming hidup abadi (hlm.30). Kisah Eos dan Tithonius lebih tragis lagi. Meskipun Zeus telah mengabulkan permintaan Eos untuk membuat Tithonius hidup abadi, namun tubuh biologis Tithonius tetap menua sehingga ia hanyalah jiwa abadi dengan jasad yang setengah mati (hlm.53).

Hal ini membuat kita berpikir, jika mimpi mitologi berakhir tragedi, apakah mimpi teknologi juga akan berakhir demikian? “Our world is, of course, unprecedented in the scale of techno-possibilities. But that unsettling oscillation between techno-nightmares and grand futuristic dreams – that is timeless.” (hlm.216), tulis Adrienne Mayor.

Dalam buku ini juga kita dapat melihat sisi gelap teknologi dalam kacamata mitologi. Misalnya, Hephaestus selain digambarkan sebagai dewa yang membuat alat-alat canggih yang berguna juga digambarkan sebagai dewa yang membuat alat-alat untuk membuat orang lain menderita. Sempat diterlantarkan oleh ibunya Hera, Hephaestus membuatkannya singgasana namun dilengkapi dengan jebakan yang mengekang pergerakannya ketika ibunya duduk di singgasana tersebut (hlm.135). Atas perintah Zeus, Hephaestus juga yang membuat sosok wanita buatan bernama Pandora, yang nantinya membuka “kotak Pandora” (Pandora’s box) berisi malapetaka bagi umat manusia [5].  Ada juga cerita Pygmalion yang jatuh cinta pada patung buatannya sendiri [6]. Alasannya? Ia muak setelah selalu kecewa dengan wanita sebelumnya (barangkali, Pygmalion adalah orang pertama yang membuat ‘waifu’-nya sendiri hahaha).

Dilema antara harapan dan mimpi buruk mitologi ini seharusnya menjadi refleksi terhadap pengembangan teknologi saat ini. Sikap terlampau optimistik terhadap janji-janji manis teknologi harus juga dibarengi dengan realita negatifnya. Kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, dehumanisasi, kita juga tidak boleh tutup mata terhadapnya. Meskipun, hal ini tidak berarti menegasikan dampak positif teknologi yang sama-sama kita rasakan.

Kembali mengambil kacamata mitologi, masa depan apakah yang akan dialami oleh manusia dan teknologi? Akankah ia menjadi ‘api Prometheus’ [7] yang memajukan peradaban? Akankah ia menjadi ‘sentuhan Midas’ [8] yang awalnya berlapiskan emas namun akhirnya justru membuat nelangsa? Kita sendiri yang sekarang sedang menjawabnya. Dari buku ini, kita dapat melihat paralel antara mitologi dan teknologi – dan semoga mampu menghindari episode-episode tragedi yang telah tergambar dalam cerita-cerita mitologi.

Referensi

[1] Lihat prediksi Arthur C. Clarke pada acara BBC Horizon (pertama tayang tanggal 21 September 1964) di https://www.youtube.com/watch?v=KT_8-pjuctM (bagian pertama) dan https://www.youtube.com/watch?v=XosYXxwFPkg (bagian kedua)

[2] Merujuk kepada paper yang ditulis oleh Alan Turing tahun 1950 berjudul Computing Machinery and Intelligence, dimana ia memberikan pendapat dan teori tentang bagaimana menjawab pertanyaan “bisakah robot berpikir?”

[3] Lihat kisah Talos di https://www.youtube.com/watch?v=vVTA-E3G8bQ

[4] Lihat kisah Eos dan Tithonus di https://www.youtube.com/watch?v=iIh49FOU6-Q

[5] Lihat kisah Pandora di https://www.youtube.com/watch?v=pMdJxVjZMRI. Uniknya Pandora’s box atau kotak Pandora sebenarnya berbentuk guci (jar). Menurut Mayor, kata bahasa Yunani pithos yang berarti guci untuk penyimpan sepertinya salah diterjemahkan menjadi pyxis (kotak, box) sekitar abad ke-16 masehi (hlm.172).

[6] Lihat kisah Pygmalion di https://www.youtube.com/watch?v=NCak93uE3tM

[7] Lihat kisah Prometheus di https://www.youtube.com/watch?v=U_u91SjrEOE

[8] Lihat kisah sentuhan emas Midas di https://www.youtube.com/watch?v=nn8YGPZdCvA

Tinggalkan komentar