Menuntaskan S3: Antara Keberuntungan dan Perencanaan (PhD Postscript 1/3)

As long as I win in the end, that’s all that matters.” – Kiyotaka Ayanokoji (Classroom of the Elite ep.12)

Terhitung sudah 1743 hari semenjak pertama kali memulai studi S3 tanggal 12 Maret 2019 hingga akhirnya mampu menyelesaikannya pada hari Senin, 18 Desember 2023. Waktu yang mungkin tidak sebentar, tapi tidak sedikitpun saya sesali karena banyak pelajaran berharga yang didapatkan.

Bisa dibilang, proses saya menjalani S3 hingga akhirnya lulus tergolong cukup lancar jika dibandingkan dengan kisah struggle S3 yang sering saya temukan. Tentu ada saja kendala di sana sini, tapi alhamdulillah bukan jenis kendala yang membuat stress berkepanjangan hingga mengganggu kewarasan. Namun saya juga tidak bilang kisah S3 saya tertulis dengan tinta emas. Relatif lancar, namun tidak exceptional.

Seri tulisan ini adalah usaha untuk mendokumentasikan pelajaran kehidupan yang saya dapatkan selama menjalani studi S3 ini, sekaligus menjawab recurring questions yang identik dengan studi S3 seperti “pulang atau stay”, “kontribusi untuk negeri”, “karir atau keluarga”, dsb. Hal-hal tersebut akan saya bahas dalam tiga bagian, dengan bagian ini berfokus pada jawaban atas pertanyaan berikut: Apa yang membuat seseorang (re: saya) lulus S3? Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi? Sejauh mana itu merupakan keberuntungan? Sejauh mana itu merupakan perencanaan yang matang? Sederhananya, tulisan ini menjawab pertanyaan “How did I do it?

Sampai di sini, bisa saja muncul pertanyaan skeptis (walaupun menurut saya cukup justified): apakah dunia ini membutuhkan yet another kisah perjalanan S3. Saya punya dua jawaban untuk pertanyaan tersebut. Pertama, tentunya selalu ada kepuasan tersendiri dalam menuliskan pandangan pribadi, meskipun dalam topik yang mungkin sudah dibahas ribuan kali. Kedua, saya merasa sejauh ini kisah perjalanan S3 yang saya baca lebih banyak mengedepankan aspek emosional seperti internal struggle, dukungan dari orang-orang terdekat, perjuangan hingga menit-menit terakhir, dsb. Sebisa mungkin, dalam tulisan ini saya ingin lebih menekankan aspek analisis dibandingkan emosional – meskipun mungkin dalam beberapa hal aspek emosional tentu tidak bisa dihindari. Apakah perspektif ‘emosional’ salah? Tentu tidak. Hanya saja, sebagaimana menemukan gap dalam penelitian tidak mesti berarti menyalahkan penelitian-penelitian sebelumnya, memberi perspektif baru juga bukan berarti menyalahkan perspektif yang lebih umum. Selain itu, saya pribadi ingin agar pengalaman yang saya ceritakan tidak hanya bernilai heroisme (re: “kehebatan” seseorang berjuang menggapai S3) namun juga mempunyai insight taktis dan strategis yang bisa menjadi bahan diskusi. Meskipun demikian, saya tidak mengklaim bahwa pengalaman, pemikiran, dan tindakan yang saya lakukan berlaku universal bagi semua mahasiswa S3. Silahkan baca dan nilai sendiri kebermanfaatannya.

***

Embrio minat untuk S3 sebenarnya sudah dimulai ketika saya menjalani program S2 di ITB (baca ceritanya di sini). Saya sebenarnya lebih berharap mendapat S3 lewat jalur “orang dalam”: koneksi dosen ITB yang pernah kuliah di luar negeri seperti Prancis dan Jepang. Jadi ketika saya memasukkan aplikasi ke beberapa kampus lain termasuk TU Eindhoven (TU/e), saya tidak berharap banyak dari mereka.

Namun kenyataannya, koneksi dari dosen belum juga tiba sementara saya alhamdulillah diterima di TU/e. Ketika diterima, tentu bersyukur dan merasa beruntung karena sebenarnya merasa performa interview yang dilakukan sebelumnya dengan calon dosen pembimbing kurang optimal. Saya pun sebenarnya diterima bukan di topik yang saya apply (kemudian baru saya tahu bahwa sebenarnya lowongan tersebut sudah terisi untuk posisi bidang saya, mereka mencari untuk posisi di bidang lain meskipun topiknya sama – sesuatu yang mereka tidak komunikasikan di laman lowongan). Tapi saat itu saya tidak berpikir panjang, karena memang niatnya adalah studi S3 apapun topiknya selama tentunya tidak terlalu jauh dari bidang saya: Power Electronics secara khusus dan Power Engineering secara umum. Singkat cerita, setelah mengurus segala berkas (yang ada sedikit kendala di tengah jalan), saya berangkat bulan Maret 2019.

Bagi yang belum tahu, secara umum posisi PhD di Belanda merupakan pekerjaan yang dibayar, alih-alih beasiswa oleh lembaga seperti LPDP, foundation, atau mungkin beasiswa kampusnya sendiri. Istilahnya, jalur vacancy. Jadi memang PhD layaknya pekerja kontrak yang tugasnya mengerjakan riset. Bahkan secara umum tidak ada kuliah, meskipun selain penelitian PhD researcher juga biasanya memiliki beberapa beban akademik seperti mengajar, asisten lab, atau membimbing mahasiswa S1/S2.

Baru ketika sampai di Belanda saya sadar bahwa ternyata cukup jarang universitas di Belanda (minimal TU/e) yang menerima mahasiswa PhD lewat jalur vacancy untuk lulusan S1 dan S2 kampus Indonesia (misalnya ITB). Setahu saya, sejauh ini baru ada dua orang termasuk saya dalam kurun waktu 2019-2023 yang diterima lewat jalur vacancy. Kebanyakan, mahasiswa PhD asal Indonesia di sini datang lewat jalur beasiswa seperti LPDP, BUDI, dll. atau memang sebelumnya telah menyelesaikan S2 (atau S1 dan S2) di universitas luar negeri, khususnya Belanda dan Eropa.

Apakah ini berarti saya spesial? Kesimpulan yang tempting untuk diambil, tapi sebenarnya tidak demikian. Bisa dibilang, saya cukup beruntung karena kebetulan waktu itu mereka sangat kesulitan mencari kandidat PhD untuk proyek riset yang akhirnya saya kerjakan. Hal ini tidak lepas juga dari rekomendasi kakak tingkat sejurusan saya di ITB dulu yang sudah lebih dahulu diterima pada bulan September 2018. Uniknya, saya merasa secara umum mereka lebih berani untuk mengambil lulusan S2 dari negara-negara seperti Iran, Turki, dan India, di samping tentunya negara-negara Eropa/Amerika dan Korea-Jepang-Cina. Belakangan, kecurigaan saya dikonfirmasi oleh wawancara Haryadi Gunawi bersama Gita Wirjawan (lihat menit 27:00) yang mengamini bahwa negara-negara tersebut gaung diasporanya sudah lebih kencang terdengar dibandingkan Indonesia. Ini tentu mengingatkan kita dengan dilema pulang ke Indonesia vs brain drain yang sering sekali didiskusikan di kalangan diaspora (saya akan berkomentar tentang hal ini di bagian 2).

Setelah diterima, selain pekerjaan administrasi, hal yang pertama kali saya lakukan adalah ‘mengukur suhu’. Seberapa jauh kualitas riset antara yang saya lakukan di ITB dan di TU/e? Kira-kira seperti apa topik yang akan saya kerjakan? Pengamatan mandiri saya selama 2-3 bulan sebelum berangkat serta melihat langsung realita aktivitas riset di grup menghantarkan pada kesimpulan yang tidak mengagetkan namun membuat was-was: cukup jauh bedanya. Dari mulai fasilitas dan pengalaman ngoprek alat, basic concept, hingga topik-topik riset cutting-edge semuanya agak jauh levelnya dari apa yang saya lakukan di ITB. Di ITB mungkin saya cukup dibekali dengan pengetahuan awal tentang bagaimana caranya melakukan riset dan menulis artikel ilmiah, namun itupun masih harus diasah di sini sambil mengejar ketertinggalan di hal-hal lain.

Efeknya tentu bisa diprediksi: minder sendiri selama beberapa bulan pertama. Ditambah pribadi yang cenderung introvert, hasilnya saya selalu dalam mode waspada dan secara aktif membandingkan diri dengan rekan-rekan untuk mengetahui sejauh mana saya harus berusaha untuk dapat survive di iklim baru ini. Bagi orang lain, mungkin membanding-bandingkan diri dengan orang lain dianggap sebagai sikap yang kurang sehat karena menunjukkan ketidakpercayaan diri. Namun bagi saya, kepercayaan diri hanyalah efek dari akumulasi kemampuan. Singkat kata: semakin saya mampu melakukan sesuatu, semakin percaya diri. Maka saya perlu membandingkan diri dengan orang lain yang sudah lebih lama survive di sini untuk menilai seberapa jauh saya tertinggal dan harus bagaimana untuk dapat survive.

Setelah secara aktif mengamati, saya sampai pada dua kesimpulan. Pertama, saya agak kurang terkait penguasaan beberapa basic concept dan practical skill yang relatif dikuasai oleh orang-orang di sini seperti control system, mendesain PCB, metode komputasi dan programming, dan device semikonduktor modern seperti GaN dan SiC. Kedua, berbeda dengan di Indonesia di mana rekan-rekan (dan saya) malu-malu untuk menyampaikan hasil risetnya karena takut dibantai, di sini justru dituntut kemandirian dan keaktifan untuk mempromosikan hasil riset – bahkan jika hasilnya masih jauh dari kata sempurna atau lebih parah lagi memiliki cacat metodologi. Bahkan bisa dibilang, kalau kita berhasil men-challenge balik pendapat pembimbing dengan hujjah yang kuat, pembimbing akan cenderung senang karena artinya ia punya kolega yang tidak asal nurut tapi juga mampu mengembangkan pemikiran yang independen.

Melihat hal yang secara implisit diinginkan di lingkungan ini, sambil menyadari di mana diri sendiri memiliki kekurangan, saya mengambil tiga langkah taktis untuk mengatasinya: 1) langsung bekerja bersama dan belajar dari anak S2 yang kebetulan juga sedang mengerjakan proyek yang sama dengan saya sebagai tugas akhir (karena mereka kesulitan mencari orang, seperti yang saya bilang di awal); 2) memperkuat lagi basic concept dan practical skill di sela-sela waktu bekerja; 3) mempelajari disertasi yang menjadi predecessor dari topik saya (khusus poin ini, bahkan telah saya lakukan sewaktu masih di Indonesia).

Langkah pertama bisa dibilang sangat tidak konvensional, dan kembali saya cukup beruntung karena ada anak S2 yang sedang mengerjakan topik yang sama dengan yang akan saya kerjakan. Biasanya, di awal-awal peneliti PhD duduk manis di kursi kerjanya membaca berbagai literatur untuk menentukan arah risetnya selama beberapa tahun ke depan (walaupun ada saja revisinya di tengah jalan). Alih-alih, saya langsung hinggap bersama anak S2 tersebut untuk mempelajari konsep dan lebih utamanya setup yang telah ia bangun. Hasilnya cukup menguntungkan bagi kedua pihak. Walaupun saya hanya sekadar bantu-bantu teknis di awal, ternyata itu mempercepat kinerjanya sehingga ia bisa lulus dari program S2-nya setelah sebelumnya mengalami kebuntuan. Saya juga mendapat banyak pengetahuan baru dalam waktu singkat dan bisa menunjukkan hasil eksperimen di evaluasi 1.5 bulan. Pembimbing dan dosen satu grup yang menilai saya waktu itu sangat memuji langkah proaktif saya untuk mendekati anak S2 tersebut. Seorang kolega PhD yang sudah senior waktu itu juga memuji taktik saya, karena menurutnya kebanyakan peneliti PhD tidak terlalu berprogress dan kebingungan di tahun pertama. Terus terang saya tidak berpikir sejauh itu ketika memutuskan mendekati anak S2 tersebut, namun ternyata manfaat dan kesan positif yang dihasilkan sangatlah baik. Bahkan salah satu paper saya di tahun pertama berasal dari diskusi singkat saya bersama si anak S2 tersebut.

Taktik ketiga (mempelajari disertasi) pun membantu saya untuk dapat catch-up berdiskusi dengan pembimbing maupun si anak S2. Namun untuk taktik kedua (mempelajari basic concept), sebenarnya tidak terlalu berhasil. Awalnya, saya berpikir bahwa skill dasar sangat dibutuhkan untuk menghasilkan riset yang baik. Namun, kendalanya adalah ketika kita mempelajarinya secara membabi-buta tetapi belum jelas sejauh apa kebutuhan penguasaannya dalam konteks riset yang kita geluti. Meskipun taktik ini dilakukan oleh kenalan saya yang juga sukses menyelesaikan S3-nya, bagi saya taktik ini justru kandas di tengah jalan karena hasilnya minim dan sulit sekali menjaga motivasi untuk mengerjakan riset di satu sisi dan playing catch-up game di sisi lain. Namun bukan berarti saya tidak mengasah basic concept sama sekali selama PhD, karena memang kenyataannya masih kurang di sana sini. Tapi ia saya lakukan berdasarkan kebutuhan: kalau memang risetnya perlu mengerti X, barulah saya belajar X. Dengan demikian, motivasi tetap terjaga karena kita tahu si X yang kita pelajari itu penting (dan juga tahu perlu semengerti apa kita dalam bidang X tersebut).

Hal ini juga tidak terlepas dari tradisi evaluasi setiap PhD candidate setelah 9 bulan pertama untuk menentukan apakah ia layak lanjut/tidak (go or no go). Walaupun sebenarnya failure-rate evaluasi ini cukup rendah (kecuali kalau anaknya memang sangat kurang atau bermasalah), tapi tetap saja ada sedikit tekanan untuk dapat memberikan sebanyak-banyaknya hasil di presentasi evaluasi 9 bulan tersebut – apalagi ia ditonton seluruh grup.

Variabel lain yang harus dipertimbangkan juga adalah memilih antara high-hanging fruit dan low-hanging fruit dalam riset. Maksudnya, ada riset yang sangat challenging dan butuh waktu lama serta penguasaan konsep yang tidak sebentar, tapi reward-nya jika berhasil sangat besar (ex: publikasi di jurnal ternama). Di sisi lain, ada juga topik riset yang tidak terlalu sulit tapi mungkin reward-nya ‘hanya’ sebatas paper di conference yang mumpuni (tidak abal-abal). Opsi pertama membutuhkan saya belajar basic concept dengan benar dan hasilnya mungkin tidak akan terlalu terlihat di 9 bulan pertama, sementara untuk opsi kedua saya telah membayangkan dua publikasi paper di tahun pertama. Karena waktu itu saya sedang mode survival, saya memutuskan untuk memilih low-hanging fruit agar dapat memperlihatkan hasil yang baik di awal-awal PhD. Lucunya, opsi tersebut justru membuat orang-orang bilang hasil saya dalam 9 bulan pertama sangatlah baik. Bisa jadi, kebanyakan orang di tahun pertama PhD memiliki mindset high-hanging fruit sehingga hasil saya yang memiliki mindset berbeda terkesan lebih produktif dibandingkan mereka. Namun tentunya tantangannya adalah tahun-tahun selanjutnya, apakah saya bisa menaikkan kualitas hingga layak untuk menyandang gelar Doktor. Selain itu, pasti ada saja perasaan impostor syndrome karena minder dibandingkan dengan kolega-kolega senior yang telah mempublikasikan hasil risetnya di jurnal ternama. Namun saya sadar konsekuensinya ketika mengambil opsi ini, jadi saya jalani saja.

Singkat cerita, evaluasi 9 bulan saya berakhir memuaskan dan saya punya sekitar 3 tahun lebih sedikit untuk menyelesaikan PhD sesuai kontrak (4 tahun). Namun satu hal lain yang saya amati di grup ini adalah jarang sekali ada peneliti PhD yang lulus <= 4 tahun. Rata-rata lulus dalam 4.5 tahun, bahkan 5-6 tahun pun ada! Hal ini membuat saya berpikir karena tentunya saya hanya bisa berada di sini jika memiliki pekerjaan (re: peneliti PhD), dan jika penelitian saya belum selesai di kala kontrak habis tentu akan sangat menyulitkan proses penyelesaian PhD.

Untungnya, angin segar datang dari pembimbing. Ia menginformasikan bahwa ada tawaran untuk menjadi peneliti PhD sekaligus mengemban tugas edukasi lebih untuk mendapatkan sertifikasi mengajar di kampus-kampus di Belanda – dinamakan sebagai University Teaching Qualification (UTQ) / Basiskwalificatie Onderwijs (BKO). Bagi yang menjalani program tersebut, kontrak PhD-nya akan diekstensi menjadi 5 tahun dengan keharusan mengikuti beberapa course, aktif dalam kegiatan edukasi, dan menulis dossier (semacam laporan 20-30 halaman) terkait kegiatan edukasi kita. Tanpa panjang pikir, kesempatan ini langsung saya ambil karena sangat membantu mengamankan pendapatan tahun ke-5. Saya waktu itu menganggap beban edukasi dan course bisa diatur, yang penting mengamankan pendapatan dulu – dan kalau dipikir-pikir hari ini, keputusan saya cukup tepat.

Setelah survive, goal selanjutnya adalah surpass: bagaimana caranya agar lulus PhD? Saya punya sekitar 4 tahun lagi dikarenakan kontrak BKO, dan saya berencana lulus antara 4.5-5 tahun. Tantangan berikutnya, kecenderungan pembimbing yang lebih suka membebaskan peneliti PhD bimbingannya untuk menentukan arah risetnya – meskipun tentunya tidak dilepas sama sekali dan sesekali diberi saran juga. Sederhananya, you are on your own. Perlu hati-hati menyusun strategi, agar tidak bingung sendiri menentukan arah riset. Mungkin bagi beberapa orang yang sebelumnya datang dari kultur lab yang lebih mematuhi apa kata pembimbing (seperti beberapa yang saya tahu di Indonesia), bisa jadi tantangan tersendiri untuk mengubah mindset bekerja.

Di periode ini, setidaknya ada dua kendala utama (di samping pandemi Covid-19 yang menurunkan pace secara umum) yang cukup mempengaruhi bagaimana saya menyusun strategi lulus S3. Saya akan cerita dulu yang pertama: ketidakidealan kondisi alat di lab. Sebelumnya, grup kami dijanjikan akan diberi alat yang cukup canggih dan dapat mempermudah arah riset yang sejalan dengan tujuan awal proyek. Sayangnya, alat-alat tersebut tidak pernah dibuat, dan kalaupun ada yang jadi hasilnya jauh dari memuaskan. Akhirnya, saya tidak bisa 100% “mengimani” tujuan utama proyek riset yang dijanjikan di awal-awal dikarenakan keterbatasan tersebut.

Hal ini mengantarkan saya untuk menjelajahi lebih luas bidang riset yang saya geluti, untuk melihat opsi alternatif apa yang ada. Saya semakin intens membaca review paper untuk mengetahui apa saja yang dilakukan orang-orang di luar sana. Hal ini penting karena S3 adalah tentang kebaruan ilmiah apa yang akan kita tawarkan. Jadi tentu tidak bisa mengerjakan hal-hal yang sudah established dan banyak orang yang mengerjakannya.

Dari penjelajahan tersebut, saya menyadari ternyata bidang riset yang saya geluti sekitar 70% masalahnya itu-itu saja (ex: fault-tolerant operation, zero sequence current reduction, modeling and control, dsb.). Hanya saja, topik-topik tersebut di-tackle secara beragam walaupun inti masalahnya sama. Ada yang sedikit mengganti metode, ada yang sedikit mempercepat waktu eksekusi, dll. Intinya sama, hanya saja orang berlomba-lomba untuk mengajukan solusi alternatif mereka.

Dihadapkan dengan realita itu, saya justru malah enggan terjun ke wilayah 70% tersebut. Pasalnya, jika semua orang sudah melakukannya, apa yang menjamin bahwa kontribusi saya nanti akan bernilai unik? Akhirnya, saya putuskan lebih baik meneliti hal-hal yang mungkin tidak sepopuler topik-topik sebelumnya tapi tidak memiliki saingan. Ya, saya memilih blue ocean strategy dibandingkan red ocean strategy. Di samping itu, pilihan ini memudahkan saya untuk menyetir arah riset ke topik-topik yang lebih saya kuasai. Entah kebetulan atau bukan, saya merasa topik-topik yang saya kuasai justru yang biasanya tidak diketahui orang; dan sebaliknya, saya terkadang tidak terlalu mengerti topik-topik yang populer dan banyak diketahui orang. Selain itu, saya juga mencoba menghindari topik-topik yang terlalu bergantung dengan kualitas alat eksperimen dikarenakan practical skill saya yang relatif kurang menonjol.

Strategi ini saya anggap sangat menguntungkan dari segi pacing dan beban kerja. Saya tidak perlu terlalu ngoyo kerja siang-malam dengan penuh stress, meskipun terkadang ada momen yang mengharuskan demikian. Bahkan, bisa dibilang saya jarang sekali bekerja full 8 jam sehari (meskipun ini bukan hal yang saya banggakan). Yang saya amati, banyak peneliti PhD memilih jalur red ocean strategy – benar-benar berdedikasi untuk memecahkan masalah yang panas dan aktual. Ibaratnya, setinggi apapun temboknya, akan dihadapi. Memang biasanya berujung indah di akhir jalan, tapi penderitaan yang dialami juga bukan main-main diakibatkan gelisah di kala ide atau hasil belum kunjung datang.

Sebenarnya ada alasan lain mengapa saya tidak mau hidup saya terlalu tersita untuk riset S3 (akan saya ceritakan di bagian 3), namun untuk sekarang cukuplah dibilang blue ocean strategy yang saya pilih cukup memudahkan saya membuahkan hasil riset yang baru meskipun mungkin tidak impactful – tapi cukup untuk tembus di conference yang ternama dan tidak abal-abal. Alhamdulillah, bisa dibilang pekerjaan riset saya selama menjalani S3 tidak terlalu membuat stress sampai ke level hampir burnout, depresi, atau bahkan suicidal. Sedikit mumet dan lelah tentu ada, tapi masih dalam batas yang sangat wajar. Sebenarnya ada faktor lain yang membuat saya cenderung bisa lebih tahan ketika menjalani program S3, namun akan saya simpan ini untuk bagian 3.

Namun tentunya ada harga yang harus saya bayar untuk strategi yang saya pilih. Pertama, kesulitan untuk menembus jurnal paling topdikarenakan riset saya yang kurang populer dan impactful. Kedua, kesulitan mencari justifikasi untuk bab 1 tesis karena riset yang saya angkat kebanyakan lebih bersifat “scientific” dibandingkan “engineering” yang berangkat dari masalah tertentu. Untuk poin kedua, hal ini ditambah lagi dengan problem kedua: pergantian pembimbing kedua karena dosen yang mengisi posisi tersebut pensiun pada tahun 2022 silam. Bisa dibilang, pembimbing kedua yang baru ini lebih application-minded sehingga sulit juga bagi saya untuk menyamakan frekuensi dikarenakan hasil riset saya yang sudah terlanjur pure theory-minded.

Untuk problem jurnal, pada akhirnya saya harus berdamai dengan keadaan lewat submission ke jurnal yang mungkin masih tergolong top tier (re: Q1) meskipun bukan jurnal top di bidangnya, dikarenakan manuskrip saya ditolak di jurnal tersebut. Untuk problem justifikasi riset, akhirnya saya mengambil jalan memutar dengan menjadikan bab 1 tesis saya sebagai semacam review article yang menjelaskan apa-apa saja yang sudah dan belum dilakukan di bidang riset saya. Tujuannya untuk memberikan justifikasi bahwa apa yang saya lakukan itu bisa dibilang benar-benar baru, selaras dengan blue ocean strategy yang saya pilih. Tentunya, baru bukan berarti impactful, meskipun saya tidak terima juga kalau riset saya dibilang abal-abal dan tidak berguna sama sekali.

Terkait pembimbing kedua yang baru, sebenarnya saya tidak punya masalah pribadi dengan beliau (dan sejauh penilaian saya, beliau fine-fine saja diajak bekerja sama). Namun saya sudah banyak mendengar kasus arah riset yang banyak berubah (kalau tidak berubah total) dikarenakan perubahan formasi pembimbing. Saya tidak mau hal itu terjadi, apalagi mengingat waktu saya hanya tinggal sekitar 1.5 tahun sebelum target lulus. Akhirnya, terhadap beliau saya mencoba menjanjikan satu bab tambahan yang lebih selaras dengan gaya pikir beliau. Beliau setuju dengan hal itu. Meskipun kalau boleh jujur, ketika mengusulkannya saya tidak terlalu yakin apakah akan sempat untuk mengerjakannya – dan benar saja, bab tersebut pada akhirnya hanyalah sekadar wacana hingga akhir penulisan tesis hahaha.

Singkat cerita, meskipun dengan beberapa kekurangan seperti artikel yang tidak masuk jurnal top, kendala alat eksperimen yang membatasi arah riset, dan topik riset yang cukup anti-mainstream, saya berhasil menjahitnya menjadi satu kesatuan buku tesis untuk diserahkan dan dinilai oleh dewan penguji eksternal. Entah apa yang ada dalam pikiran saya waktu itu, somehow saya mengajukan nama-nama yang benar-benar beken di bidangnya untuk menjadi dewan penguji saya (bahkan dua di antaranya bisa dibilang merupakan peneliti top di bidang saya). Sebenarnya ini sangat berlawanan dengan motto saya dalam melakukan PhD: “don’t burden yourself beyond what is necessary”. Ini tentu membuat tugas saya dalam revisi manuskrip dan persiapan sidang semakin sulit, tapi entah mengapa saya tetap melakukannya.

Beruntungnya, saya cukup bahagia ketika mengetahui bahwa seluruh dewan penguji puas dengan draft buku tesis saya. Bahkan dua profesor yang merupakan peneliti top di bidang saya memberikan testimoni yang sangat positif. Terus terang saya agak terkejut karena jalur anti-mainstream yang saya tempuh ternyata berbuah manis, meskipun tentunya dua orang tersebut juga sadar atas kekurangan yang ada di tesis saya seperti kendala eksperimen, jurnal, dsb. Barangkali, ada untungnya saya menjelaskan ketidakidealan pada perjalanan S3 saya (seperti alat yang dijanjikan tidak kunjung datang) di bab 1 draft tesis sehingga para penilai memahami dan memaklumi keterbatasan yang mau tidak mau ada di tesis tersebut.

Setelah revisi diterima dan selesai dikerjakan, tinggalah persiapan defense yang perlu dilewati sebagai tangga terakhir menuju gelar S3. Sebenarnya, di TU/e (dan mungkin Belanda pada umumnya) acara PhD defense lebih cenderung berbentuk seremoni dan formalitas dibandingkan benar-benar ujian hidup/mati. Pasalnya, waktunya hanya dibatasi 1 jam dan sebenarnya draft kita pun sudah dinilai layak lulus/tidaknya (dan berdirinya kita di ruang sidang adalah tanda bahwa hasilnya adalah “layak”). Namun saya cukup serius mempersiapkannya, bukan karena ketakutan, tapi karena dewan pengujinya cukup ahli di bidang saya dan beberapa bahkan memberikan review yang cukup extensive. Jadi, saya mencoba meresponnya dengan mempelajari sebaik mungkin topik terkait tesis saya sambil juga berkorespondensi dengan beberapa dewan penguji (note: tidak di semua negara hal ini diperbolehkan. Misalnya, di UK interaksi antara kandidat dan penguji sebelum sidang sepenuhnya dilarang). Alhamdulillah, dengan persiapan yang matang, bisa dibilang sesi tanya-jawab saat PhD defense tergolong lancar – meskipun ada saja pertanyaan yang tidak bisa saya jawab.

***

Kembali ke pertanyaan awal, apakah lulus S3 sekadar beruntung atau lewat perancanaan yang matang? Saya bilang, untuk kasus saya jawabannya adalah keduanya. Saya cukup beruntung bisa diterima di TU/e di kala statistik untuk orang-orang seperti saya tidak terlalu menjanjikan. Saya juga beruntung bahwa taktik low-hanging fruit dan blue ocean strategy yang saya lakukan ternyata hasilnya positif di mata penguji. Juga kehadiran mahasiswa S2 di awal-awal sebagai tempat bertanya dan kesempatan memperpanjang kontrak selama 1 tahun lewat program BKO. Tapi beberapa keberuntungan pun hadir sebagai buah perencanaan juga. Taktik dan strategi yang saya rumuskan bisa dibilang hasil dari pengamatan dan antisipasi yang jika tidak saya lakukan, barangkali arah penelitian S3 saya tidak akan jelas hingga sekarang. Kalau saya terlalu gengsi untuk belajar dengan mahasiswa S2, progress-nya pasti akan terhambat. Juga jika saya tidak peka terhadap sejumlah ketidakidealan di tengah jalan (seperti ketiadaan alat eksperimen), bisa jadi riset saya terhambat karena maksa ingin sesuai rencana awal.

Namun sehebat apapun perencanaan, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Misalnya, periode bulan Januari-April 2023 menjadi bulan paling stressful dalam perjalanan S3 saya karena semua beban (akademik, kursus BKO, menulis tesis, eksperimen, ditambah menjaga istri yang sedang kurang fit karena hamil) tiba-tiba ditimpakan dalam satu waktu. Juga misalnya pandemi Covid-19 yang membuat beberapa kerja eksperimen saya terhambat prosesnya. Sebaik apapun usaha saya mengatur pace dan beban kerja, terkadang ada saja hal yang di luar kendali dan menuntut kesabaran dan adaptasi.

Satu hal yang perlu saya berterus terang, target utama saya selama S3 hanya satu: lulus dengan proper. Bukan lulus yang bermodal belas kasihan pembimbing, tapi tidak juga mengejar target cumlaude. Doesn’t matter how it’s done, meskipun tentu ada batas-batas etika yang tidak boleh ditabrak. Itulah yang membuat saya tidak ragu-ragu mengambil approach yang mungkin kurang konvensional, selama itu bisa mempermulus proses menempuh S3. Seperti bunyi kutipan pembuka, “As long as I win in the end, that’s all that matters.” Bagi saya, gelar S3 hanyalah salah satu tools untuk mencapai tujuan yang berada jauh di luar boundaries kecil bernama karir dan profesi.

Terakhir, perlu sekali lagi saya tekankan, tulisan ini adalah tentang apa yang saya lakukan dan pikirkan demi menyelesaikan studi S3 saya. Ini bukan guide apa yang harus diikuti semua mahasiswa S3 untuk menyelesaikan studinya. Saya akan sangat berbahagia jika ada pembelajaran positif yang pembaca bisa dapatkan setelah membaca tulisan ini, namun saya tidak akan menyarankan untuk mengamini semua yang tertulis di sini tanpa konteks.

***

Bagian 2: Klise 4K (Karir, Keuangan, Keluarga, Kontribusi).

Bagian 3: Menjadi (Saintis) Muslim: Lokal, Global, Intelektual

Note: bagi yang tertarik melihat, tesis S3 saya dapat diakses di sini.

2 thoughts on “Menuntaskan S3: Antara Keberuntungan dan Perencanaan (PhD Postscript 1/3)

  1. Ping balik: Menjadi (Saintis) Muslim: Lokal, Global, Intelektual (PhD Postscript 3/3) | jurisarrozy

  2. Ping balik: Klise 4K: Karir, Keuangan, Keluarga, Kontribusi (PhD Postscript 2/3) | jurisarrozy

Tinggalkan komentar