Large Language Model, Sensory Grounding Problem, dan Ibnu Sina

Baru saja mendapatkan slide-nya David Chalmers (filsuf di bidang philosophy of mind dan consciousness) dalam conference bertemakan ‘Philosophy of Deep Learning’.

Menariknya, Chalmers mengutip Ibnu Sina dalam menjawab persoalan apakah Large Language Model (LLM) yang menjadi basis ChatGPT dan sejenisnya butuh ‘sensory grounding’ (re: “akses” ke dunia luar, seperti pancaindera pada manusia contohnya) untuk mencapai taraf understanding selayaknya manusia.

Saya belum mendapatkan rekaman conferencenya, tapi kalau sekadar lihat slide-nya, nampaknya Chalmers menafsirkan argumen Ibnu Sina bahwa aktivitas berpikir tidak mesti membutuhkan ‘sensory input’ sebagaimana kita menerima sensasi dari pancaindera untuk mencerna sesuatu. Konsekuensinya, seperti tulisan di slide, “there can be thinking without sensing”. Apalagi jika input LLM bersifat multimodal (teks, audio, visual, dsb.) dan tidak sekadar teks saja. Sepertinya Chalmers beranggapan sangat mungkin sistem LLM seperti itu mencapai taraf understanding selayaknya manusia.

Argumen yang menarik dari Chalmers, dan lebih menarik lagi karena ternyata dia aware dan bahkan mengutip Ibnu Sina.

Namun, saya sendiri masih skeptis dengan tafsiran Chalmers terhadap Ibnu Sina dan aplikasinya untuk masalah AI dan LLM ini. Setahu saya, aktivitas berpikir yang dimaksud Ibnu Sina dan para mutakallimun/filsuf lainnya (seperti Al-Ghazali dan Al-Farabi misalnya) adalah proses abstraksi dari yang sifatnya “sensible” (seperti suara, warna, rasa, dll.) dan particular menjadi konsep abstrak yang sifatnya “intelligible” dan universal. Itu sebabnya kita bisa memahami sebuah konsep kursi yang universal padahal hanya bermodalkan kursi-kursi partikular yang kita lihat.

Tapi rasanya abstraksi dari sensible menuju intelligible di sini beda jauh dengan abstraksi ala komputer yang hanya melibatkan proses komputasi matematis. Setahu saya, proses abstraksi terjadi di jiwa yang sifatnya non-fisik. Sementara itu, proses komputasi sifatnya masih fisik karena ia perlu medium (ex: sirkuit elektronik) untuk merealisasikan fungsinya. Yang dimaksud abstraksi dalam LLM dan AI menurut hemat saya masih merupakan konsep partikular dalam kerangka pemikiran Ibnu Sina. Dalam slide-nya tidak tercantum bagaimana peran jiwa dalam proses berpikir sebagaimana yang dicanangkan oleh Ibnu Sina, jadi saya mencurigai ini tafsiran yang parsial terhadap pemikiran Ibnu Sina. Tapi ini baru kesimpulan awal setelah membaca slide. Mungkin saja bisa berubah ketika saya kelak mendapatkan akses rekamannya.

Memang pada akhirnya berbicara tentang implikasi filosofis AI terhadap konsep-konsep seperti berpikir, kecerdasan, jiwa, dll. ini tidak mudah. Belum banyak sarjana Muslim kontemporer yang merumuskannya (atau sayanya aja mungkin yang kurang baca), dan untuk men-tackle isunya butuh pemahaman yang cukup baik di bidang teknis AI, philosophy of mind, konsep jiwa manusia, dsb. Sepengamatan singkat saya, kebanyakan “perspektif Islam” terhadap masalah AI ini masih sebatas di ranah etika penggunaan. Meskipun itu juga sudah bagus, tapi tentu isunya jauh lebih dari sekadar etika penggunaan saja.

Mudah-mudahan kedepannya kita juga bisa engage dan memberikan posisi khas kita terhadap isu ini. Rasanya tidak mungkin 14 abad tradisi keilmuan Islam tidak punya tawaran baru terhadap isu yang sebenarnya merupakan ekstensi dari mind-body problem yang sudah ada sejak zaman Descartes. Mari kita lihat kelanjutannya seperti apa.

Wallahu a’lam.

Tinggalkan komentar